Senin, 30 Mei 2022

KONEKSI ANTAR MATERI 3.2 PEMIMPIN PEMBELAJARAN DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA

 Nia Martiana, S.Pd.

SMP Negeri 8 Satap Tempunak

CGP Angkatan 4 Kabupaten Sintang


A. Pemimpin Pembelajaran dalam Pengelolaan Sumber Daya 

Pada Modul 3.2 Program Pendidikan Guru Penggerak, CGP berkesempatan untuk mempelajari tentang pengelolaan sumber daya yang dapat menunjang terselenggaranya pembelajaran. Secara garis besar, modul 3.2 ini membahas tentang bagaimana guru sebagai pemimpin pembelajaran dapat mengidentifikasi dan memaksimalkan potensi aset yang dimiliki oleh lingkungannya, guna menunjang kegiatan pembelajaran. 

1. Sekolah Sebagai Ekosistem 

Sekolah merupakan lembaga penyelenggara pendidikan formal yang di dalamnya terdapat unsur yang saling mendukung. Unsur-unsur yang saling mendukung ini kemudian membentuk sebuah ekosistem, layaknya ekosistem yang kita pelajari di pelajaran IPA. Dalam ekosistem terdapat unsur biotik (hidup) dan abiotik (tidak hidup) yang membentuknya. Pada konteks sekolah, unsur biotiknya adalah kepala sekolah, guru, murid, komite, masyarakat, pengawas, serta modal manusia lainnya. Sedangkan unsur abiotiknya meliputi keuangan, sarana prasarana, kurikulum, dan sebagainya. 


Dalam penyelenggaraan pelayanan pendidikan, baik unsur biotik dan abiotik yang ada pada sekolah merupakan modal yang berpotensi untuk ‘menyehatkan dan menyuburkan’ ekosistem sekolah. Apabila hubungan antar unsur dan potensinya diberdayagunakan secara maksimal, maka penyelenggaraan pelayanan pendidikan akan semakin baik, dan tentu saja akan berdampak pada murid. 


2. Pendekatan Berbasis Masalah 

Mari kita refleksikan bersama, selama ini topik mana yang lebih sering mendominasi diskusi di ruang guru: (1) Masalah dan kenakalan murid, atau (2) prestasi dan capaian positif murid. Kemudian, kaitannya dengan penyelenggaraan pembelajaran, (1) kurangnya fasilitas sekolah yang menghambat kegiatan,  atau (2) bagaimana mengoptimalkan apa yang dimiliki untuk mendukung kegiatan/pembelajaran? 

Apabila opsi nomor (1) lah yang mendominasi, bisa jadi sekarang ini kita masih menggunakan paradigm berpikir berbasis masalah.  

Dampak dari terlalu seringnya menggunakan pola pikir ini adalah : 

Bergantung pada bantuan orang/pihak lain

Potensi aset tidak berkembang

Mematikan kreatifitas


3. Pendekatan Berbasis Aset 

Pendekatan berbasis aset adalah sebuah konsep yang dikembangkan oleh Dr. Kathryn Cramer. Pendekatan ini merupakan cara praktis menemukan dan mengenali hal-hal yang positif dalam kehidupan, dengan menggunakan kekuatan sebagai tumpuan berpikir, kita diajak untuk memusatkan perhatian pada apa yang bekerja, yang menjadi inspirasi, yang menjadi kekuatan ataupun potensi yang positif. Pendekatan ini cenderung mempercayai bahwa setiap hal yang mungkin dipandang ‘negatif’ sebenarnya mempunyai sisi positif yang dapat menjadi kekuatan. Misalnya, orang yang mempunyai sifat keras kepala, alih-alih disebut sebagai orang yang kaku dan tidak fleksibel, dapat disebut sebagai orang yang teguh dan gigih, yang merupakan potensi positif dari karakter keras kepala. 


Paradigma berpikir ini kemudian melahirkan suatu konsep pengembangan komunitas berbasis aset (PKBA). Dalam penerapannya, PKBA juga dapat diterapkan dalam pengembangan sekolah, yang mana sekolah sejatinya adalah sebuah ekosistem yang di dalamnya terdapat komunitas manusia (komponen biotik) yang saling berinteraksi dan bekerjasama. Agar ekosistem sekolah dapat tumbuh sehat dan subur dan menghasilkan output yang berkualitas, maka pemberdayaan segala aset yang ada perlu dikalukan degan maksimal. Lalu, apa saja aset-aset yang dapat menjadi modal sekolah? Mari kita simak pembahasan berikut ini.


4. Modal yang Dimiliki Sekolah

Terdapat paling tidak tujuh macam modal yang potensinya dapat dijadikan aset bagi perkembangan sebuah komunitas, yaitu: 

Modal manusia 

Modal sosial

Modal fisik 

Modal alam/lingkungan

Modal finansial

Modal politik

Modal agama dan budaya. 


Adapun untuk penjelasan dan contoh dari penjabaran identifikasi aset sekolah, dapat dilihat pada tautan berikut ini. Identifikasi Aset Pendukung Pembelajaran SMP Negeri 8 Satap Tempunak. Dalam kerangka regional 3 Kecamatan di Kabupaten Sintang (Sepauk, Ambalau dan Tempunak) penjabaran identifikasi asetnya dapat diakses pada tautan berikut ini.

B. Relevansi Pengelolaan Sumber Daya dalam Penyelenggaraan Pendidikan 

Data pemetaan aset sekolah akan sangat membantu kedepannya apabila sekolah telah menggunakan Kurikulum Merdeka. Pada Kurikulum Baru ini, sekolah diwajibkan untuk menyelenggarakan pembelajaran berbasis proyek kolaborasi sebanyak 3 proyek dalam satu tahun. Dengan melihat potensi-potensi aset yang ada, maka sekolah akan terbantu dalam mencari dan menentukan proyek apa yang sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik daerah, masyarakat, serta lingkungan alam dimana murid tinggal. 


Misalnya, di daerah sekolah saya mempunyai potensi berupa rotan dan daun pandan yang dapat dijadikan sebagai kerajinan tangan serta perkakas yang mempunyai fungsi dan nilai jual. Maka sekolah dapat mengadakan proyek pemanfaatan potensi alam ini dengan membimbing murid untuk memberdayagunakannya. Pada proyek kolaboratif ini, tidak hanya guru Seni Budaya dan Prakarya saja yang mempunyai andil dalam pembelajaran. Guru Bahasa Indonesia dapat membimbing murid untuk menciptakan teks prosedur pembuatan kerajinan tangan dengan Bahasa Indonesia yang baik dan benar, bisa secara lisan maupun tertulis; begitu pula guru Bahasa Inggris. Bahkan, guru Bahasa juga dapat membimbing murid untuk menciptakan teks iklan guna mempromosikan hasil karyanya, agar dapat sampai ke tangan konsumen. Guru IPS dapat membimbing dalam hal pemasaran sebagai bentuk dari aktualisasi pembelajaran ekonomi kreatif. Guru TIK dapat membimbing bagaimana cara berjualan secara online menggunakan platform teknologi informasi yang sekarang banyak digunakan. Guru IPA dapat membimbing eksplorasi lingkungan mengenai macam-macam flora yang ada di lingkungan sekitar sekolah, serta kajian-kajian lainnya yang relevan. Bahkan, guru PKN juga dapat menggunakan proyek ini untuk mengembangkan karakter Profil Pelajar Pancasila, yaitu gotong royong. Dari satu hasil pemetaan potensi alam saja, begitu banyak hal yang bisa dilakukan. Dari satu identifikasi aset, yaitu modal alam berupa rotan, terdapat berbagai macam pembelajaran yang dapat di kembangkan lintas mata pelajaran. Begitu lah kira-kira manfaat dari identifikasi aset dan potensinya pada PKBA. Sungguh luar biasa. 


C. Refleksi dan Koneksi Pembelajaran Modul 3.2 dengan Modul sebelumnya

Tujuan pendidikan menurut KHD adalah untuk menuntun dan mengembangkan segala kodrat anak untuk mempersiapkan diri menuju kebahagiaan dan keselamatan. Sebagai seorang pendidik, kita perlu memikirkan apa yang dapat kita lakukan untuk menuntun dan mengembangkan segala kodrat anak? Apa saja yang kita telah miliki untuk mengembangkannya? Modul 3.2 tentang pemimpin pembelajaran dalam pengelolaan sumber daya memberikan ruang bagi pendidik untuk memikirkan hal tersebut. Apalagi, kedepannya, guru penggerak mempunyai peran untuk dapat menjadi seorang pemimpin pembelajaran. Modul 3.2 ini memberikan kesempatan bagi CGP untuk dapat merenungkan segala aset yang dimiliki kelas dan sekolah, untuk dapat menyelenggarakan pembelajaran yang berdampak pada murid. 


Hal yang dapat pendidik lakukan untuk menyelenggarakan pembelajaran yang berdampak pada murid adalah dengan menyelenggarakan pembelajaran berdiferensiasi dan pembelajaran sosial emosional. Pada konteks pembelajaran berdiferensiasi, pemetaan kesiapan belajar, profil belajar serta minat murid juga berkaitan dengan identifikasi aset pendukung pembelajaran, utamanya pada modal manusia. Dari pemetaan ini dapat diidentifikasi potensi-potensi apa yang dapat dikembangkan lebih lanjut agar pembelajaran semakin berdampak pada murid. Hal yang sama juga dapat berlaku pada pembelajaran sosial emosional yang dipelajari pada Modul 2.1.


Secara berkesadaran penuh, paradigma berpikir pendidik sebaiknya mulai digiring pada pendekatan berbasis aset. Dengan demikian, dalam penyelenggaraan pelayanan pendidikan di sekolah pendidik tidak terus-menerus berfokus pada masalah, serta kekurangan yang dapat menghambat pembelajaran/kegiatan sekolah. Investigasi opsi trilema serta pencarian alternatif solusi untuk mengembangkan potensi dari aset yang dimiliki penting untuk dilakukan, dalam pengembangan komunitas berbasis aset.

 


D. TABEL BAGJA

Setelah menyaksikan Video mengenai salah satu pembelajaran yang diselenggarakan di suatu sekolah dasar di Daerah Banggai, saya terinspirasi untuk membuat kelas saya menjadi lebih memerdekakan murid. Silakan klik tautan Tabel BAGJA ini untuk dapat mengakses bagaimana perencanaannya. 


Selasa, 26 April 2022

KONEKSI ANTAR MATERI MODUL 3.1

 PENGAMBILAN KEPUTUSAN SEBAGAI PEMIMPIN PEMBELAJARAN

Ditulis oleh: Nia Martiana, S.Pd.

CGP Angkatan 4 Kab. Sintang

SMP Negeri 8 Satap Tempunak


Bagaimana pandangan Ki Hajar Dewantara dengan filosofi Pratap Triloka memiliki pengaruh terhadap bagaimana sebuah pengambilan keputusan sebagai seorang pemimpin pembelajaran diambil?

Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantara, membuahkan 3 filosofi pendidikan yang dikenal dengan Pratap Triloka, yaitu: Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, dan tut wuri handayani. Seorang pendidik hendaknya meresapi makna dari filosofi luhur ini. Sehingga, dalam melaksanakan pelayanan pendidikan, pendidik dapat menempatkan diri dengan baik, menjadi contoh, dan menggerakkan minat belajar murid, serta membimbing mereka untuk mencapai kebahagian dan keselamatan dalam hidup.

Dalam melakukan pelayanan pendidikan, pendidik sering kali dihadapkan pada situasi pengambilan keputusan yang pelik secara etik. Dengan kesadaran adanya filosofi ing ngarsa sung tuladha (di depan menjadi contoh yang baik), pendidik perlu menjadi contoh sebagai pembuat keputusan yang bijak dalam menyikapi permasalahan dalam perannya sebagai pemimpin pembelajaran.

Filosofi ing madya mangun karsa (di tengah menggerakkan), mengingatkan pendidik bahwa keputusan yang diambil sebisa mungkin dapat mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang terlibat, sehingga dapat menjadi jalan tengah yang menggerakkan di kedua sisi. Meskipun ini terkesan sulit, melakukan investigasi opsi trilema mungkin akan membantu.

Filosofi Tut Wuri Handayani (dari belakang membimbing), mengingatkan bahwa pendidik mempunyai peran penting dalam membimbing murid untuk menemukan jalan dan menentukan keputusan apa yang baik bagi diri mereka. Melakukan coaching dapat menjadi sarana bimbingan yang tepat dalam hal ini.

Bagaimana nilai-nilai yang tertanam dalam diri kita, berpengaruh kepada prinsip-prinsip yang kita ambil dalam pengambilan suatu keputusan?

Setiap manusia mempunyai nilai-nilai dan keyakinan yang sudah tertanam dan terpatri dalam diri, yang menjadi refleksi dari pengalaman-pengalaman hidup yang telah dialami. Nilai-nilai dan keyakinan ini agaknya memang tidak tampak, tetapi akan terlihat dan berpengaruh pada prinsip-prinsip yang diambil dalam pengambilan keputusan, sebagai reaksi dari apa yang dipercaya dan pernah dialami.

Marilah kita cermati diagram gunung es berikut ini:


Pola pikir, kepercayaan dan nilai-nilai merupakan identitas bawah sadar seseorang, yang akan mempengaruhi bagaimana cara pandangnya dalam menghadapi suatu permasalahan, dan mengambil keputusan. Ketiganya secara tidak sadar akan menjadi acuan dalam bertindak, berpikir, dan mengambil keputusan.

Bagaimana kegiatan terbimbing yang kita lakukan pada materi pengambilan keputusan berkaitan dengan kegiatan 'coaching' (bimbingan) yang diberikan pendamping atau fasilitator dalam perjalanan proses pembelajaran kita, terutama dalam pengujian pengambilan keputusan yang telah kita ambil. Apakah pengambilan keputusan tersebut telah efektif, masihkah ada pertanyaan-pertanyaan dalam diri kita atas pengambilan keputusan tersebut. Hal-hal ini tentunya bisa dibantu oleh sesi 'coaching' yang telah dibahas pada modul 2 sebelumnya.

Alhamdulillah, dalam kegiatan pembelajaran modul 3.1 ini, fasilitator dan pendamping praktik sangat berperan dalam membimbing CGP dalam membuat keputusan. Ruang kolaborasi: diskusi kelompok memberikan kami kesempatan untuk memilih satu kasus dilema etika dalam pengambilan keputusan sebagai pemimpin pembelajaran. Pendampingan dan bimbingan dari fasilitator dan pendamping praktik memberikan kami kepercayaan diri bahwa keputusan yang kami ambil sudah efektif dan dapat dipertanggungjawabkan.

Bagaimana kemampuan guru dalam mengelola dan menyadari aspek sosial emosionalnya akan berpengaruh terhadap pengambilan keputusan?

Dalam pengambilan keputusan, yang perlu diperhatikan guru pertama kali adalah, untuk tidak membiarkan sistem kerja otak cepat yang sifatnya otomasi mempengaruhi dirinya. Untuk menghindari keputusan yang diambil berdasarkan emosi sesaat saja, mengingat sistem kerja ini menggunakan otak mamalia (amigdala), yang berhubungan dengan emosi.

Untuk mengaktifkan dan mengefektifkan sistem kerja lambat otak dalam pengambilan keputusan, pengelolaan dan kesadaran aspek sosial emosional akan menjadi penting. Sehingga keputusan yang diambil berdasarkan pertimbangan-pertimbangan matang yang diproses melalui penggunaan otak luhur manusia.

Lalu bagaimana caranya? Saya rasa, latihan berkesadaran penuh dapat menjadi cara untuk mengaktifkan dan mengefektifkan sistem kerja lambat otak.

• Bagaimana pembahasan studi kasus yang fokus pada masalah moral atau etika kembali kepada nilai-nilai yang dianut seorang pendidik.

Seperti yang telah saya jelaskan pada bagian sebelumnya bahwa nilai-nilai dan kepercayaan adalah merupakan identitas bawah sadar seseorang, termasuk juga pendidik. Yang mana, nilai-nilai ini akan mempengaruhi bagaimana cara pandang seseorang dalam menanggapi suatu permasalahan moral, dan menentukan keputusan atas permasalahan tersebut.

Dalam kasus dilema etika dimana permasalahan yang dihadapi adalah benar lawan benar, maka tidak ada keputusan yang dianggap ‘salah'. Karena apapun keputusannya, dipengaruhi oleh nilai-nilai kebajikan universal yang sudah tertanam dan terpatri dalam diri seorang pendidik yang bersangkutan.

Bagaimana pengambilan keputusan yang tepat, tentunya berdampak pada terciptanya lingkungan yang positif, kondusif, aman dan nyaman.

Pengambilan keputusan yang tepat, yang dilandasi oleh olah pikir yang jernih, acap kali belum dapat mengakomodasi semua kepentingan yang bersangkutan. Akan tetapi, keputusan yang diambil dengan tepat, dapat meminimalisasi adanya gesekan sebagai akibat dari pengambilan keputusan. Dengan minimnya gesekan yang terjadi, maka akan berdampak pada terciptanya lingkungan yang positif, kondusif, aman dan nyaman.

Selanjutnya, apakah kesulitan-kesulitan di lingkungan Anda yang sulit dilaksanakan untuk menjalankan pengambilan keputusan terhadap kasus-kasus dilema etika ini? Apakah ini kembali ke masalah perubahan paradigma di lingkungan Anda?

Saya rasa, kesulitan di lingkungan saya dalam menjalankan pengambilan keputusan terhadap kasus dilema etika adalah, kenyataan bahwa setiap individu di lingkungan saya (dalam konteks sekolah tempat saya mengajar) adalah pribadi yang berbeda satu sama lain. Otomatis, akan ada berbagai sudut pandang dalam menghadapi kasus dilema etika. Maka menyamakan persepsi mungkin akan menjadi hal yang ‘sulit’, mengingat setiap individu mempunyai nilai-nilai dan kepercayaan yang membentuk identitas diri, yang mungkin berbeda satu sama lain.

Kesulitan selanjutnya adalah, tidak semua rekan sejawat saya memahami konsep pendidikan yang berpihak kepada murid. Ini akan menjadi tantangan ketika saya dihadapkan pada situasi dimana pengambilan keputusan melibatkan orang banyak, dan belum memahami paradigma berpikir yang berpihak kepada murid.

Dan pada akhirnya, apakah pengaruh pengambilan keputusan yang kita ambil ini dengan pengajaran yang memerdekakan murid-murid kita?

Dalam konteks pembelajaran di kelas, keputusan yang kita ambil sebagai seorang pendidik dan pemimpin pembelajaran berpengaruh pada bagaimana sebuah pembelajaran dilaksanakan. Sebagai contohnya adalah dalam penerapan pembelajaran berdiferensiasi. Pembelajaran bediferensiasi sendiri dapat diartikan sebagai serangkaian keputusan yang ‘masuk akal’ yang guru lakukan untuk memenuhi kebutuhan belajar murid. Dengan mengambil keputusan yang ‘masuk akal’ dalam pembelajaran, maka pengajaran yang kita lakukan dapat memerdekakan murid, membahagiakan, dan mendorong mereka untuk berkembang sesuai dengan kodratnya.

Bagaimana seorang pemimpin pembelajaran dalam mengambil keputusan dapat mempengaruhi kehidupan atau masa depan murid-muridnya?

Dengan menggunakan pemikiran yang komprehensif, seorang pemimpin pembelajaran dapat mempertimbangkan efek jangka pendek lawan jangka panjang dari keputusan yang akan diambil. Dengan demikian, keputusan yang diambil dapat mempengaruhi kehidupan atau masa depan murid-muridnya di masa yang akan datang.

Selain itu, metakognisi murid juga akan melihat bagaimana dan dasar nilai apa yang digunakan guru dalam menentukan keputusan. Dengan demikian, ada semacam transfer nilai yang akan dicontoh oleh murid dari pengambilan keputusan itu. Yang, mungkin saja dapat mempengaruhi bagaimana pola pikir, keyakinan, serta nilai-nilai (identitas bawah sadar) murid di masa yang akan datang. Ini kembali lagi pada salah satu Pratap Triloka, ing ngarsa sung tuladha.

Apakah kesimpulan akhir yang dapat Anda tarik dari pembelajaran modul materi ini dan keterkaitannya dengan modul-modul sebelumnya?

Kesimpulan yang dapat saya ambil adalah, dalam pengambilan keputusan, seorang pemimpin pembelajaran hendaknya menggunakan sistem kerja lambat otak luhur manusia. Menggunakan pemikiran yang jernih dan komprehensif dapat meminimalisasi adanya gesekan yang membuat pihak yang terlibat merasa kurang nyaman. Kemudian, bagaimana seorang pendidik mengambil keputusan kaitannya dengan keberpihakannya pada murid, secara tidak sadar akan menjadi ‘transfer nilai kebajikan’ yang mungkin dapat mempengaruhi pola pikir, keyakinan dan nilai-nilai yang tertanam pada diri murid. Sehingga mereka dapat tumbuh dan berkembang, menyongsong masa depan dengan selamat dan bahagia.



Selasa, 05 April 2022

KONEKSI ANTAR MATERI MODUL 2.3

Nia Martiana, S.Pd

SMP Negeri 8 Satap Tempunak

CGP Angkatan 4 Kab. Sintang 

COACHING DAN FILOSOFI KHD

Semboyan Pendidikan Indonesia ‘Tut Wuri Handayani’ diambil dari tiga filosofi pendidikan yang dikemukakan oleh Ki Hadjar Dewantara. Tut Wuri (mengikuti, mendampingi) mempunyai makna mengikuti/mendampingi perkembangan murid dengan penuh (holistik) berdasarkan cinta kasih tanpa pamrih, tanpa keinginan menguasai dan memaksa. Handayani (mempengaruhi) mempunyai makna merangsang, memupuk, membimbing dan memberi teladan agar murid mengembangkan pribadinya melalui disiplin pribadi. Sistem Among (Tut Wuri Handayani) menjadi salah satu kekuatan dalam pendekatan pendampingan (coaching) bagi guru.

Menilik kembali filosofi Ki Hajar Dewantara tentang peran utama guru (Pamong/Pedagog), maka memahami pendekatan Coaching menjadi selaras dengan Sistem Among sebagai salah satu pendekatan yang memiliki kekuatan untuk menuntun kekuatan kodrat anak (murid).

Pendampingan yang dihayati dan dimaknai secara utuh oleh seorang guru, sejatinya menciptakan ARTI (Apresiasi-Rencana-Tulus-Inkuiri).

 

COACHING SEBAGAI PERAN GURU PENGGERAK

Pada modul 1.2 telah disampaikan tentang beberapa peran guru penggerak, yaitu:

1.       Sebagai pemimpin pembelajaran

2.       Menggerakkan komunitas praktisi

3.       Mendorong kolaborasi antar guru

4.       Menjadi coach bagi guru lain

5.       Mewujudkan kepemimpinan murid.

Untuk dapat memerankan diri sebagai guru penggerak, keterampilan melakukan coaching adalah salah satu modal utamanya. Untuk dapat menggerakkan komunitas praktisi, mendorong kolaborasi antar guru, dan memerankan diri sebagai coach bagi guru lain, guru penggerak memerlukan keterampilan berkomunikasi yang memberdayakan, yang merupakan salah satu aspek dalam coaching. Dalam hal ini, konteksnya adalah coaching terhadap rekan sejawat.

Sebagai pemimpin pembelajaran dan mewujudkan kepemimpinan murid, keterampilan melakukan coaching juga diperlukan. Dengan melakukan coaching, guru dapat menggali potensi yang dimiliki oleh murid, untuk dapat menemukan solusi atas permasalahannya, baik itu permasalahan dalam pembelajaran maupun masalah sehari-hari yang murid hadapi. Dengan demikian, guru dapat mendorong murid untuk menjadi pribadi yang mandiri dan bertanggungjawab, paling tidak untuk dapat menjadi pemimpin yang baik bagi dirinya sendiri.

COACHING DALAM PEMBELAJARAN BERDIFERENSIASI

Untuk dapat memenuhi kebutuhan belajar murid, guru perlu melakukan pembelajaran berdiferensiasi. Dalam praktiknya, pemebelajaran berdiferensiasi muncul terkait adanya keragaman kebutuhan belajar peserta didik. Untuk dapat mengetahui apa saja keragaman-keragaman tersebut, maka guru perlu melakukan pemetaan paling tidak, pada:

1.       Kesiapan belajar

2.       Minat

3.       Profil belajar

4.       Hambatan belajar

Dari pemetaan tersebut maka akan diperoleh data, mana saja murid yang memerlukan intervensi lebih lanjut, untuk dapat memaksimalkan potensinya dalam belajar, dan sebisa mungkin meminimalisasi hambatan belajarnya. Salah satu bentuk intervensi yang dapat diberikan adalah dengan menyusun pembelajaran berdiferensiasi. Apakah cukup sampai disitu? Saya kira sayang sekali apabila data pemetaan ini hanya berhenti sampai disini saja.

Hasil pemetaan juga dapat dijadikan panduan bagi guru untuk mencari dan menggali lebih terhadap apa yang dialami oleh murid. Selanjutnya, melakukan coaching dapat menjadi pendekatan yang lebih personal yang dapat membantu murid untuk menggali potensinya, serta menggali solusi atas permasalahannya dalam pembelajaran. Maka coaching dan penyelenggaraan pembelajaran berdiferensiasi akan sejalan.

COACHING DAN PEMBELAJARAN SOSIAL EMOSIONAL

Lalu, bagaimana koneksi antara coaching dengan pembelajaran sosial emosional?

Pembelajaran sosial dan emosional bertujuan untuk 1) memberikan pemahaman, penghayatan dan kemampuan untuk mengelola emosi 2)menetapkan dan mencapai tujuan positif 3)merasakan dan menunjukkan empati kepada orang lain 4)membangun dan mempertahankan hubungan yang positif serta 5)membuat keputusan yang bertanggung jawab.

Dilihat dari tujuan pembelajaran sosial emosional, maka dapat kita lihat bahwa peran guru sebagai pamong (coach) diperlukan untuk dapat mencapai tujuan PSE tersebut. Coaching dapat menjadi salah satu bentuk penguatan dan pengembangan keterampilan sosial emosional murid, dengan membimbing mereka untuk lebih melihat kedalam diri mereka, berrefleksi, untuk dapat membuat keputusan yang bertanggungjawab atas diri mereka.

Selain itu, dalam pembelajaran sosial emosional, guru dapat meminta murid untuk mengidentifikasi emosi yang mereka rasakan sebelum kegiatan belajar. Coaching dapat menjadi salah satu tindak lanjut dari temuan identifikasi emosi negatif yang dirasakan murid. Dengan demikian maka coaching dapat melengkapi keberpihakan terhadap murid, selain dengan melakukan pembelajaran berdiferensiasi dan pendidikan sosial emosional.

          PRAKTIK COACHING DI SMP NEGERI 8 SATAP TEMPUNAK 

Sebagai guru di SMP Negeri 8 Satap Tempunak, saya merasa keterampilan coaching sangat bermanfaat bagi saya, utamanya dalam memberikan pelayanan pendidikan yang berpihak kepada murid, serta dalam mendorong terbentuknya komunitas praktisi di sekolah. Sejauh ini praktik coaching telah saya lakukan untuk membantu murid menggali potensi dirinya untuk mendapatkan solusi atas permasalahan yang dihadapinya. Selain itu, saya merasa coaching efektif untuk membentuk kedekatan, kepercayaan, serta komunikasi yang baik antara guru dan murid. Semoga kedepannya coaching dapat menjadi budaya positif sekolah, untuk terciptanya pelayanan pendidikan yang berpihak kepada murid. 


Referensi:
Disarikan dari:
1.       Modul 1.1 Pendidikan Guru Penggerak Angkatan 4
2.       Modul 1.2 Pendidikan Guru Penggerak Angkatan 4
3.       Modul 2.1 Pendidikan Guru Penggerak Angkatan 4
4.       Modul 2.2 Pendidikan Guru Penggerak Angkatan 4
5.       Modul 2.3 Pendidikan Guru Penggerak Angkatan 4

Makan Enak

 

Setelah entah berapa purnama berlalu, Alhamdulillah mendapati lagi pengalaman makan sambil menangis. Ini terasa romantis, meskipun makan sendiri, hanya dengan nasi dan telur goreng. Sebuah momen langka, yang sayang untuk dilewatkan.

Sudah 10 hari lamanya merasakan tak enak makan berkat invasi keluarga Salmonella. Kukira keadaan membaik karena kaplet Lumbricus yang katanya manjur. Bisa jadi, makhluk penyubur tanah yang menggelikan itu memberikan khasiat dan manfaat. Ah, padahal kalau melihat bentuk nyatanya rasanya tak menambah nafsu makan. Begitu hebatnya yang mengijinkan makhluk itu berperan, membuatku merasa sudah saatnya kembali menikmati momen makan.

Apakah itu hanya sugesti?

Lalu Siapa yang membuatku bisa merasakan nikmatnya momen makan ini? Apakah ini terasa nikmat karena aku mampu beli beras, telur, garam dan minyak goreng yang sedang langka dan mahal itu? Ah, nyatanya beras yang kumakan adalah buah perhatian kawanku yang habis panen padi kampung. Telur kuperoleh karena kebaikan hati muridku yang mau meluangkan waktu untuk sejenak ke warung. Lalu minyak yang kugunakan adalah cemceman untuk simpan kemiri, kubeli saat keberadaannya belum sulit dicari.

Berarti bukan karena aku mampu beli.

Lalu mengapa aku menangis?

Karena Dia yang berbaik hati, mengizinkan, dan memberi kemampuan. Seandainya aku dikatakan mampu bukan berarti karena aku mampu, atau hanya sekedar mau. Seandainya aku kuat nyatanya aku sempat kalah bertanding dengan Salmonella.

Aku menangis karena begitu nikmatnya makananku. Meskipun sedang tidak bersama mereka yang membuat momen romantis dikatakan ‘romantis’. Tapi ini romantis.

Lalu mengapa aku begitu lugu mengatakan ini adalah momen langka?

Padahal nikmat yang Dia berikan jauh dari kata jarang, tak seperti minyak goreng yang entah sekarang belinya dimana.


Catatan sebelum Ramadhan 1443


Sabtu, 05 Februari 2022

Aksi Nyata Modul 1.4 Budaya Postif

 

LAPORAN AKSI NYATA MODUL 1.4

BUDAYA POSITIF

Disusun oleh: Nia Martiana, S.Pd.

SMP Negeri 8 Satap Tempunak CGP Angkatan 4 Kab. Sintang

 

Merdeka belajar saat ini menjadi ‘hawa’ baru pada Pendidikan Nasional di Indonesia. Tidak tanggung-tanggung, Bapak Menteri Nadiem Makariem, terjun langsung menjadi icon-nya. Merdeka belajar digaungkan selaras dengan berbagai program positif, massif, dan berdampak langsung pada transformasi pendidikan di Indonesia melalui program ‘Penggerak’. Gaung merdeka belajar mungkin sudah santer terdengar hingga ke pelosok negeri. Lalu bagaimana dengan pemaknaannya?

Pemilihan diksi ‘merdeka’ sempat menimbulkan multitafsir bagi diri saya, dan mungkin hal ini dialami juga oleh pendidik lainnya. Awalnya saya sempat bingung dengan pemilihan dan pemaknaan kata ‘merdeka’ yang disambungkan dengan kata belajar. Apakah merdeka belajar artinya peserta didik dapat belajar semau mereka sendiri? Atau maksudnya, mereka dapat memilih pembelajaran apa yang mereka mau? Lantas, bagaimana dengan kurikulum, pembelajaran, dan evaluasinya? Setelah melalui berbagai fase mulai dari membaca dan mendengar, hingga mengikuti Program Guru Penggerak, sampailah saya pada kesimpulan bahwa merdeka belajar bermakna belajar dengan merdeka, tanpa paksaan.

Sebagai Calon Guru Penggerak, nafas merdeka belajar hendaknya mulai juga saya ‘hembuskan’ di sekolah tempat saya mengajar, SMP Negeri 8 Satap Tempunak. Bagaimana saya dapat menciptakan suasana yang merdeka dalam belajar di pembelajaran di kelas dan sekolah saya? Apa yang dapat saya lakukan? Untungnya, program PGP membekali saya materi-materi yang menunjang langkah saya untuk turut serta mewujudkan merdeka belajar, dan membangun karakter Pelajar Pancasila peserta didik.

Setelah saya mengikuti proses belajar pada modul 1.1 hingga 1.4, saya mempunyai inisiatif untuk mewujudkan merdeka belajar melalui pembentukan budaya positif  di sekolah saya. Kegiatan ini sebelumnya telah saya rancang pada bagian Koneksi Antar Materi, sebagai berikut:

Lini masa rencana aksi

Minggu ke 1:

·         Guru memberikan sosialisasi mengenai program pembentukan kesepakatan kelas dan kegunaannya

·         Guru memberikan pandangan mengenai kebutuhan dasar dan motivasi internal baik pada murid maupun rekan guru.

MInggu ke 2:

·         Murid dan guru menyusun draf dokumen keyakinan kelas

·         Guru melakukan restitusi pada permasalahan murid

Minggu ke 3

·         Murid dan guru melakukan finishing dokumen keyakinan kelas dan menempelkan di dinding kelas

·         Guru melakukan refleksi restitusi dan motivasi internal bersama murid

Minggu ke 4

·         Guru menyusun laporan aksi nyata

Refleksi Aksi Nyata

Proses melakukan aksi nyata Budaya Positif di sekolah saya dapat dilakukan dengan lancar. Hanya saja, rencana yang saya tuangkan dalam bagian Koneksi Antar Materi mengalami beberapa perubahan dan penambahan. Perubahan terutama pada urutan kegiatan. Penambahannya adalah adanya aktivitas di luar ruangan berupa permainan penguatan Budaya Positif. Adapun dapat saya deskripsikan kegiatan saya sebagai berikut.

Minggu ke 1 (10-15 Januari 2022)

Saya melakukan diskusi dan koordinasi dengan Kaur. Kesiswaan mengenai keikutsertaan saya pada penanganan beberapa kasus pelanggaran yang terjadi di sekolah, untuk dapat saya alihkan dengan metode restitusi. Selain itu, saya juga berkoordinasi dengan guru lainnya mengenai usulan memperbanyak tempat sampah dan sapu lidi di lingkungan sekolah, dengan memberdayakan potensi murid-murid dan alam di sekitar sekolah. Bu Alus Lusia, Bu Leny dan Bu Eli menyambut usulan ini, dan ikut menggerakkan murid untuk dapat ikut serta dalam usaha ini.

Minggu ke 2 (17-22 Januari 2022)

Pada minggu ini saya gunakan untuk melakukan diskusi dengan murid-murid saya di kelas 7, 8 dan 9 mengenai apa yang kita yakini menjadi baik bagi kelas kami. Saya memberikan gambaran dan motivasi kepada murid-murid saya mengenai keyakinan kelas. Kemudian, saya meminta mereka untuk memikirkan keyakinan-keyakinan apa saja yang mereka pikirkan. Saya memandu mereka untuk merumuskan garis besar keyakinan-keyakinan tersebut, untuk dituangkan menjadi keyakinan kelas yang kami sepakatii bersama.

Selain itu, saya juga mengajak kelas 8 untuk melakukan beberapa permainan di luar kelas. Permainan ini saya lakukan menggunakan jam pelajaran PJOK, yang kebetulan guru yang bersangkutan sedang mendapatkan tugas luar untuk mengurus laporan BOS di Kota Sintang. Saya memandu anak-anak untuk bermain setuju dan tidak setuju. Beberapa pernyataan yang berkaitan dengan kebenaran-kebenaran universal saya lontarkan kepada mereka. Anak-anak memeberikan pendapat dengan melangkahkan kaki satu langkah kedepan apabila setuju, dan diam ditempat apabila tidak setuju. Pernyataan-pernyataan yang saya ajukan misalnya, ‘Kita sebaiknya menghormati semua warga sekolah’. dengan mengajukan pernyataan-pernyataan demikian, saya berharap ini dapat menjadi cara bagi saya untuk membantu anak-anak menginternalisasi keyakinan akan kebaikan dan kebernaran universal untuk dapat mewujudkan murid yang mencerminkan Profil Pelajar Pancasila.

Adapun kegiatan yang saya lakukan dapat diakses melalu kanal youtube saya pada tautan berikut ini.

Tautan Video Aksi Nyata Modul 1.4 Nia Martiana

 Minggu ke 3 (24 – 29 Januari 2022)

Pada minggu ini saya fokuskan untuk melaksanakan pengimbasan aksi nyata Budaya Positif 1.4. Saya meminta dukungan dan ijin dari kepala sekolah, Bapak Alyuk, S.Sos, M.M untuk mengadakan pengimbasan secara daring, berkolaborasi dengan SMP Negeri 6 Tempunak, yang merupakan calon penyelenggara Program Sekolah Penggerak yang telah terseleksi. Alhamdulillah, setelah berkoordinasi dengan kedua kepala sekolah, saya dapat menyelenggarakan pengimbasan tersebut pada tanggal 27 Januari 2022.


Inisiatif untuk menyelenggarakan kolaborasi dua sekolah ini terinspirasi dari pembelajaran pada modul 1.2 mengenai Nilai dan Peran Guru Penggerak. Salah satu peran dari Guru Penggerak adalah menggerakkan komunitas praktisi. Dengan menyelenggarakan kegiatan ini saya berharap dapat memulai langakah awal saya untuk dapat menggerakkan komunitas guru SMP di daerah Tempunak Hulu. Selain itu harapannya ke depan sekolah saya, SMP Negeri 8 Satap Tempunak juga dapat banyak belajar dari SMP Negeri 6 Tempunak, sebagai penyelenggara PSP kedepannya. Tentunya untuk dapat mengerakkan komunitas praktisi saya tidak dapat bergerak sendirian. Perlu adanya komunikasi dan kerjasama dengan guru lain untuk dapat membentuk komunitas praktisi yang solid dan berkelanjutan.

Pelaksanaaan Kolaborasi Pengimbasan Aksi Nyata Budaya Positif pada tanggal 27 Januari 2022 dihadiri juga oleh Pengajar Praktik yang membimbing saya, yaitu Ibu Siti Khuzaimah, M.Pd. pada kesemptatan ini beliau berkenan memberikan kata sambutan sekaligus motivasi bagi saya dan kedua sekolah; begitu juga kedua kepala sekolah yang hadir.

Adapun rekaman kegiatan pengimbasan tersebut dapat disaksikan pada kanal YouTube saya pada tautan berikut ini.


Video Pengimbasan Budaya Positif Nia Martiana SMP N 8 Satap Tempunak

Kegiatan webinar dapat terselenggara dengan lancar, meskipun saya terkendala untuk menampilkan fitur berbagi layar. Sehingga para peserta webinar tidak dapat melihat tampilan slide presentasi yang telah saya siapkan sebelumnya. Untungnya, sebelumnya saya telah mengirimkan salinan materinya kepada Ibu Maria Magdalena sebagai moderator pada kesempatan ini. Alhamdulillah peserta webinar dapat mengikuti sesi berbagi hingga selesai, meskipun beberapa harus meninggalkan ruang gmeet terlebih dahulu karena terkendala terbatasnya kuota internet. Meskipun demikian mereka, khususnya Bapak Ibu Guru SMP Negeri 8 Satap Tempunak dapat berbagi gawai saat mereka sudah logout. Peserta juga berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan ini. Saya sebagai pengisi sesi berbagi juga belajar banyak dari pengalaman dan pemikiran baru yang saya dapatkan dari guru-guru lainnya.

Kedepannya, saya berharap kegiatan seperti ini dapat berkelanjutan. Tentunya dengan persiapan penyelenggaraan yang lebih matang dan materimateri yang lebih beragam.

Minggu ke 4 (31 Januari – 5 Februaru 2022)

Pada minggu ini saya fokuskan untuk mempersiapkan unggahan tugas pada LMS. Setelah mendapatkan rekaman webinar kemarin, saya mengedit dan menggabungkan videonya, serta melakukan konfersi besaran file video agar memungkinkan untuk saya unggah. Selain itu, pada minggu ini saya juga mempersiapkan artikel blog ini agar dapat saya unggah pada forum berbagi pada LMS Modul 1.4. Alhamdulillah, dengan diunggahnya tugas ini, inshaallah saya siap untuk mengikuti tantangan pembelajaran selanjutnya pada LMS, yaitu paket Modul 2. Paket Modul ini rencananya akan dimulai besok, pada 7 Februari 2022. Bismillah walhamdulillah, semoga saya dan CGP Angkatan 4 lainnya, PP dan fasilitator diberikan berkah kemudahan, kemampuan dan kelancaran dalam pembelajaran selanjutnya.

 

 

Minggu, 19 Desember 2021

KONEKSI ANTAR MATERI MODUL 1.4 BUDAYA POSITIF

PENDIDIKAN GURU PENGGERAK

Oleh: Nia Martiana, S.Pd.

SMP Negeri 8 Satap Tempunak

CGP Kab. Sintang, Kalimantan Barat

 

A.      Refleksi Pemahaman Materi Budaya Positif

Untuk dapat melakukan perubahan ke arah budaya positif, guru sebaiknya mulai mengubah paradigma berpikir dari stimulus respon ke arah teori control. Teori control membuka cakrawala berpikir guru untuk dapat bepikir secara terbuka dalam menghadapi murid. Bahwasanya, setiap apa yang dilakukan oleh murid adalah bentuk dari usaha pemenuhan kebutuhan dasarnya. Ada lima jenis kebutuhan, yaitu

  • 1.    survival,
  • 2.       kesenangan,
  • 3.       cinta dan kasih sayang,
  • 4.       kebebasan dan
  • 5.       penguasaan.

Dengan mengetahui apa kebutuhan dasar yang ingin dipenuhi oleh murid, maka guru dapat mengarahkan murid untuk dapat mencari alternatif lain yang lebih positif sebagai bentuk pemenuhan kebutuhan dasarnya.



Keyakinan kelas diperlukan sebagai seperangkat nilai kebajikan yang disepakati dan diyakini bersama oleh murid, sehingga mereka dapat mengontrol dirinya dengan baik. Harapannya, segala bentuk pemenuhan kebutuhan dasar murid hendaknya tidak melanggar keyakinan kelas. Dalam penanganan peristiwa/kasus murid, guru diharapkan dapat memposisikan diri dengan bijak, sehingga penyelesaian masalah dapat mencapai tujuan menang-menang. Dalam hal ini, dari lima posisi control, posisi sebagai manajer lah yang ideal. Pada posisi ini, seorang guru dapat melakukannya dengan menawarkan restitusi. Restitusi dilakukan melalui tiga tahap, yaitu

1. Menstabilkan identitas,

2. Validasi kesalahan yang dilakukan,

3. Menanyakan keyakinan.



Bagi saya restitusi ternyata cukup menghemat emosi dalam menangani masalah murid. Setelah saya mempelajari materi pada modul 1.4 ini, saya menjadi  sadar bahwa dalam hal penanganan masalah murid, saya sebaiknya menggunakan otak luhur manusia saya, seperti yang telah saya pelajari pada modul 1.2 yang lalu. Selain itu, dalam menjalankan peran sebagai guru penggerak kedepannya, materi pada modul 1.4 ini dapat menjadi modal untuk dapat membiasakan budaya positif di kelas dan di sekolah.

 

B.      Peran dalam menciptakan Budaya Positif di Sekolah

Seorang Guru Penggerak diharapkan dapat memerankan diri untuk:

  • 1.       Pemimpin pembelajaran
  • 2.       Menggerakkan komunitas praktisi
  • 3.       Mendorong kolaborasi antar guru
  • 4.       Menjadi coach bagi guru lain
  • 5.       Mewujudkan kepemimpinan murid.

Melalui kelima peran tersebut, seorang guru penggerak dapat turut serta menciptakan budaya positif di sekolah. Adapun penjabarannya adalah sebagai berikut:

Sebagai pemimpin pembelajaran dan mewujudkan kepemimpinan murid, seorang guru penggerak hendaknya dapat menginisiasi pembentukan kesepakatan kelas, maupun keyakinan kelas. Melakukan restitusi dengan murid juga adalah salah satu cara untuk dapat mewujudkan kepemimpinan murid. Dimana dalam kegiatan restitusi, murid dapat mengembangkan pemikirannya menjadi lebih bijak, dan menumbuhkan motivasi internal mereka. Dalam menciptakan budaya positif di sekolah, seorang guru penggerak tidak dapat bergerak sendiri. Kolaborasi antar guru di sekolah sangat diperlukan. Maka, apabila rekan guru di sekolah belum dapat mengakses informasi mengenai materi budaya positif, guru penggerak dapat menjadi coach bagi rekan guru untuk dapat memahami bagaimana pembentukan budaya positif di sekolah. Untuk kedepannya, bersama-sama mewujudkan budaya positif di sekolah.

Tidak menutup kemungkinan, guru penggerak juga dapat membagikan praktik baik proses menciptakan budaya positif di sekolah pada komunitas praktisi seperti guru dalam satu gugus, MGMP, maupun komunitas guru lainnya. 

Berikut ini adalah Rencana Aksi Nyata saya pada untuk modul 1.4 Budaya Positif.


Link Rencana Aksi Nyata 

Jumat, 15 Mei 2015

MEWUJUDKAN MULTIKULTURALISME INDONESIA MELALUI PENDIDIKAN




Ditulis oleh:
Nia Martiana, S.Pd., Gr.*)

Tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Hal ini membawa kita pada kenyataan betapa luas wilayah darat dan lautnya, serta beragam suku dan bangsanya. Sehingga Indonesia bisa dikatakan sebagai negara yang multikultural. Negara ini disusun dari kepingan suku, bahasa dan budaya yang menyatu menjadi Indonesia. Maka tepat jika Bhineka Tunggal Ika dijadikan sebagai semboyan negara kita ini.
Namun sayangnya, cerminan Indonesia yang multikultural hanya bisa dijumpai di kota-kota  urban. Sedangkan susunan masyarakat di desa-desa cenderung homogen. Jarang ditemui keberagaman suku, budaya dan agama yang cukup signifikan pada suatu wilayah desa. Misalnya, suatu desa di Kabupaten Ende, NTT, hanya tersusun dari manyarakat suku Lio, dengan berbahasa Lio, dan beragama Katolik. Sama halnya dengan suatu desa di Kabupaten Pekalongan yang tersusun dari masyarakat suku Jawa, berbahasa Jawa dan mayoritas beragama Islam. Homogenitas semacam inilah yang setiap harinya dijumpai oleh sebagian besar anak-anak Indonesia.
Kurangnya pengalaman tentang keberagaman merupakan salah satu faktor kurangnya toleransi anak terhadap hal-hal yang berbeda, yang kemudian akan membawa mereka menjadi pribadi yang kurang bertoleransi dalam masyarakat. Fenomena kurangnya toleransi dalam bermasyarakat, terutama dalam menyikapi keberagaman kerap terjadi dalam masyarakat Indonesia. Sebagai contoh, pelantikan Ahok, keturunan etnis Tionghoa non muslim, sebagai Gubernur DKI Jakarta sempat menuai berbagai kontroversi dalam masyarakat. Mereka yang menolak berdalih bahwa pemimpin seharusnya berasal dari kalangan muslim,  dan keturunan etnis pribumi. Yang paling hangat di penghujung tahun 2014 kemarin adalah kontroversi boleh tidaknya umat muslim mengucapkan selamat Natal untuk saudara-saudara umat nasrani.  Tentu saja hal semacam ini tidak perlu menjadi polemik apabila rasa toleransi yang merupakan esensi dari semboyan negara kita benar-benar ditanamkan oleh masyarakatnya.
Rasa toleransi seyogyanya sudah mulai ditanamkan kepada anak-anak kita sejak dini. Sebagai generasi penerus bangsa, mereka diharapkan dapat menjadi pribadi yang toleran, demokratis, dan mampu beradaptasi dengan keberagaman seperti yang direfleksikan dalam Bhineka Tunggal Ika. Mereka mungkin hafal semboyan unity in  diversity beserta artinya diluar kepala. Namun apakah benar mereka telah menginternalisasi maknanya? Jika semboyan itu hanya mereka hafal, lalu bagaimakah cara agar generasi muda Indonesia dapat memaknai semboyan ini seutuhnya? Pendidikan dapat menjadi kendaraannya.  

Pendidikan Multikultural
Dewasa ini, pendidikan multikultural mulai digalakkan di banyak negara, termasuk Indonesia. Sama halnya dengan pendidikan karakter, pendidikan multikultural juga menjadi isu pendidikan yang saat ini mulai dikembangkan dalam penyusunan kurikulum. Pentingnya pendidikan multikultural mengacu pada prinsip penyelenggaraan pendidikan nasional, yang telah diuraikan secara jelas pada pasal 4 ayat (1) bahwa pendidikan dilakukan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa. Tilaar menggambarkan pendidikan multikultural sebagai  pendidikan yang mampu mengakomodir sekian ribu perbedaan dalam sebuah wadah yang harmonis, toleran, dan saling menghargai. Inilah yang diharapkan menjadi salah satu pilar kedamaian, kesejahteraan, kebahagian, dan keharmonisan kehidupan masyarakat Indonesia.
Tentu saja, pendidikan multikultural bukan lagi sebuah wacana, namun sudah menjadi urgensi di dunia pendidikan. Untuk itu perlu dipikirkan bagaimana memulai implementasinya. James A. Banks secara spesifik menyatakan bahwa pendidikan multikultural dapat dikonsepsikan dalam lima dimensi, yaitu: integrasi konten, proses penyusunan pengetahuan, mengurangi prasangka, pedagogi kesetaraan serta budaya dan struktur sekolah yang memberdayakan. Merujuk lima dimensi tersebut, dapat diartikan bahwa dalam hal ini sekolah menjadi medan utama, dan guru lah yang berada di garda depan penerapannya. Meskipun demikian, peran para pembuat kebijakan pun tetap harus maksimal. Menurut hemat saya, kebijakan pengintegrasian pendidikan multikultural dalam kurikulum pendidikan nasional perlu diimbangi dengan program lain yang menunjang. Dalam hal ini, Kemendikbud sebagai pembuat kebijakan dapat menyusun program pertukaran guru dan pelajar antar daerah sebagai wujud nyata pengenalan multikulturalisme secara nasional. Disamping itu, program semacam ini dapat menjadi program alternatif pemerataan kualitas pendidikan nasional.

Pertukaran pelajar dan guru antar daerah
                  Selama ini, pertukaran pelajar selalu diasosiasikan dengan tukar menukar pelajar ke luar negeri. Bahkan apabila kita melakukan pencarian di pranata google, yang akan muncul adalah program pertukaran ke mancanegara. Program semacam ini kerap ditawarkan sekolah-sekolah unggulan untuk siswa-siswa unggulan. Duta-duta terbaik bangsa disiapkan untuk membawa misi yang sangat mulia. Salah satunya yaitu memperkenalkan kebudayaan bangsa Indonesia di kancah internasional.
                  Tentu saja, merupakan hal yang membanggakan ketika siswa mengikuti pertukaran pelajar ke luar negeri, baik bagi siswa, orang tua, bahkan sekolah. Mereka dapat membagikan pengalaman yang mereka dapatkan selama di negara manca kepada teman-temannya. Hal ini memang akan baik untuk mempersiapkan generasi muda dalam menghadapi era globalisasi dimana batas antar negara menjadi seakan tidak kasat mata.
                  Meskipun demikian, akan lebih baik apabila gaung program pertukaran pelajar antar negara ini pun diimbangi dengan pertukaran pelajar antar daerah. Dengan demikian siswa-siswi dari berbagai daerah dapat belajar kebudayaan dan merasakan kehidupan di daerah lain. Misalnya, siswa dari Jawa Barat diberi kesempatan untuk belajar di sekolah di Kalimantan Utara. Siswa dari Papua kemudian ditempatkan di DIY. Banyak kombinasi pertukaran yang memungkinkan mengingat luas dan beragamnya Indonesia.
                  Dengan menyelenggarakan program semacam ini, wawasan kebangsaan siswa dikembangkan tidak hanya dalam tataran teori di dalam kelas. Siswa mendapatkan kesempatan untuk melihat Indonesia sebagai negara dengan keberagaman yang luar biasa secara langsung sebagai sebuah pengalaman hidup. Disinilah nantinya, pendidikan multikultural dapat menginjak ranah yang lebih konktit. Hidup bersama keluarga baru, di sekolah baru dan lingkungan baru dapat menjadi suatu cara untuk membentuk pribadi generasi muda yang kuat dan toleran, yang juga menyadari perlunya bertoleransi dan  beradaptasi dengan kebudayaan masyarakat yang berbeda dengan segala kelebihan dan keterbatasannya. Siswa-siswa yang menjadi duta daerah dapat memperkenalkan budaya daerah asalnya kepada lingkungan barunya, terutama sekolah. Kemudian sekembalinya dari program ini, mereka dapat berbagi pengalamannya kepada teman-teman di sekolah atau daerah asalnya.
                  Beberapa tahun belakangan ini, gaung pertukaran pelajar antar daerah sudah mulai terdengar, meskipun sebenarnya program semacam ini telah menjadi program nasional pemerintah sejak tahun 1974, misalnya, program pertukaran pelajar antar provinsi. Namun rasanya, greget program ini masih kurang. Yang sekarang menjadi program primadona adalah program akselerasi pendidikan daerah 3T (terdepan, terluar dan tertinggal). Pada tataran perguruan tinggi kini terdapat program ADIK (Afirmasi Peserta Didik) yang digawangi oleh Dirjen Dikti. Dengan program ini, siswa-siswi dari daerah 3T dapat memperoleh kesempatan untuk merasakan pendidikan yang lebih baik, sekaligus menjadi duta daerah yang memperkenalkan kebudayaan daerah asalnya ke lingkungan masyarakat baru. Perguruan tinggi kemudian dapat menjadi miniatur heterogenitas masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi kesetaraan dan kemajemukan budaya.
                  Salah satu program yang tak kalah penting dalam mempersiapkan calon tenaga pendidik yang profesional dan peka terhadap keberagaman adalah SM3T (Sarjana Mendidik di daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal) yang disusul dengan PPG SM3T, program PPL Papua, PPGT  (Pendidikan Profesi Guru Terpadu), PPG SMK Kolaboratif. Layaknya program ADIK, PPGT dan PPG SMK Kolaboratif memberikan kesempatan bagi siswa-siswi daerah 3T untuk mempersiapkan diri mereka menjadi guru di daerah asalnya masing-masing. Sedangkan program SM3T dan PPL Papua memberikan kesempatan pada calon guru untuk mengabdi sebagai tenaga pendidik di daerah 3T. Harapannya, melalui program semacam ini, guru di masa depan merupakan guru yang sudah berpengalaman hidup dalam masyarakat yang plural dan peka terhadap keberagaman,  yang kemudian dapat mentransferkan pengalaman tersebut ketika mengajar siswa-siswinya.
                  Program pengiriman calon guru dari dan ke daerah 3T ini mendapatkan apresiasi yang baik dari pemerintah pusat. Maka kedepannya bisa jadi pemerintah akan membuat kebijakan yang lebih ‘berkesinambungan’ lagi, yaitu mengadakan program pertukaran guru dalam jabatan. Menurut hemat saya, terlepas dari segala ‘keribetannya’ program semacam ini akan sangat baik untuk memberikan nuansa baru dalam dunia pendidikan. Para guru, baik yang berasal dari daerah lebih maju dan yang dari daerah bisa saling berstudi-banding, memperbaiki yang kurang dan belajar dari yang lebih baik. Selain itu, program semacam ini pun dapat memberikan pengalaman multikultural bagi siswa, guru, maupun masyarakat Indonesia pada umumnya. Dengan pendidikan multikultural sebagai senjatanya, wajah masyarakat Indonesia yang benar-benar multikultural, yang tidak terkungkung dalam pola homogenitas, dapat benar-benar tercapai.  

*) Penulis merupakan mahasiswa PPG SM3T 2014 Prodi Pendidikan Bahasa Inggris, LPTK UNNES