Jumat, 25 Januari 2013

Salju Primitif


Dingin. Dari kejauhan terdengar suara angin terburu-buru berkejaran. Hembusannya lembut menyeka kulit lembabku yang kini sudah agak menggelap. Tak lama  kemudian, gemuruh suara itu mendekat, merontokkan daun-daun gamal pagar kebun. Pohon-pohon kemiri dan cokelat terhuyung-huyung seperti mabok minum moke. Rinai hujan sesekali jatuh berdenting terpental di atap seng karatan. Kombinasi ini sungguh syahdu, ditambah dengan kabut putih menyelimuti atmosfir desa kecil ini.
Hari ini aku hanya duduk-duduk sembari menjahit beberapa celanaku yang robek tepat di selangkangan. Memang, berat tubuhku naik semenjak hidup di sini. Kebiasaan makan banyak dan pedas di keluarga Bapa dan Mama asuh membuat ku kalap. Tak khayal tubuh kecil ini kini agak padat berisi. Ditambah lagi, musim hujan angin memaksa tubuh untuk berhibernasi. Hanya duduk, masak, urus makan, main sisip dan sesekali mampir ke belakang.
Ini kali pertama aku merasakan ekstrimnya cuaca pedalaman Flores. Dulu, pertama kali tiba di kampung ini, sering aku dengar cerita tentang kabut tebal, angin kencang dan hujan lebat melanda daerah ini setiap Januari hingga awal April. Sempat tidak begitu percaya mendengar guru-guru lain bercerita bahwa kegiatan belajar mengajar tidak bisa dilakasanakan jika cuaca seperti itu. Terpaksa sekolah harus diliburkan. Libur alam istilahnya. Kasihan anak-anak yang harus berjalan kaki ke sekolah dari kampungnya yang cukup jauh. Jalan tanpa aspal yang biasanya berdebu menjadi becek berlumpur. Bagian tengahnya yang berbatu mendadak jadi seperti sungai kecil dengan gemericik alirannya mengikis jalan yang belum pernah merasakan panasnya ter.  
Walaupun begitu, masih ada juga anak yang tetap berangkat sekolah. Seperti halnya aku dan Ria, sarjana yang ditempatkan oleh universitas untuk mengajar di daerah terpencil di pelosok Indonesia. Aku pikir, keadaan cuaca seperti ini bukanlah alasan yang cukup kuat untuk tidak berangkat sekolah.
            Hujan begini, membawa payung pun percuma. Hembusan angin yang kencang itu justru mengubah payung jadi parabola. Kemarin, Payung yang dibawa Ria, temanku, hampir putus benang-benang pengaitnya. Untung saja, aku memutuskan untuk mengenakan jas hujan sehingga tetap aman walau hujan lebat menerjang. Kabut tebal menghalangi pandangan mataku yang memang sudah rabun. Berkacamata di hari hujan begini pun percuma. Toh malah mengganggu karena embun seenaknya saja nemplok di sepasang benda bening ini.
            Tepat di pertigaan tanjakan menuju sekolah tempatku mengajar, hujan lebat beserta angin menghadang langkahku dan dua guru lain. Kami putuskan untuk berhenti sejenak menunggu angin kesetanan lewat. Angin dan hujan besar dari arah bukit sekolah tiba-tiba datang menerjang. Pohon-pohon berdecit seakan tak sanggup lagi menopang daun-daunnya yang kian rontok.
            “Kreteeeeeekkkk kreteeeeeekkk,,, kraaaaaaaaakkkkkk,,, bruuuuuuugggg....” suara pohon tumbang membahana entah datang dari arah mana. Ria menjerit lari menuju jalan setapak kebun jagung milik mama. Aku sontak lari menuju arah jalan. “Awas Ri, sebaiknya kita tunggu hujan dan angin agak reda sedikit baru mendaki lagi”, teriakku sambil menuju ke arah Ria yang basah karena payungnya tak lagi berfungsi. “Iya Ibu, percuma kita jalan kalo angin masih besar begini, napa slo’o ro, de’u uja sawe ko” timpal Pak Klemens. Ria pun mengiyakan.
Dari pelipir jalan kulihat berderet jagung yang kami tanam sebelum Natal kemarin kini tertunduk lesu. Entah angin akan bertanggungjawab menegakkan batang-batang itu kembali ataukah akan lari begitu saja meninggalkan kekecewaan mama yang berharap panen besar tahun ini. Februari nanti mungkin akan lebih kejam lagi.
Selesai menjahit, aku ambil gulungan wool yang sudah selesai kurajut. Kulihat dari sela-sela jendela pelupuh, kabut datang semakin menebal, semuanya terlihat memutih. Mungkin begitulah rasanya salju. Kabut, salju primif.