Jumat, 15 Mei 2015

MEWUJUDKAN MULTIKULTURALISME INDONESIA MELALUI PENDIDIKAN




Ditulis oleh:
Nia Martiana, S.Pd., Gr.*)

Tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Hal ini membawa kita pada kenyataan betapa luas wilayah darat dan lautnya, serta beragam suku dan bangsanya. Sehingga Indonesia bisa dikatakan sebagai negara yang multikultural. Negara ini disusun dari kepingan suku, bahasa dan budaya yang menyatu menjadi Indonesia. Maka tepat jika Bhineka Tunggal Ika dijadikan sebagai semboyan negara kita ini.
Namun sayangnya, cerminan Indonesia yang multikultural hanya bisa dijumpai di kota-kota  urban. Sedangkan susunan masyarakat di desa-desa cenderung homogen. Jarang ditemui keberagaman suku, budaya dan agama yang cukup signifikan pada suatu wilayah desa. Misalnya, suatu desa di Kabupaten Ende, NTT, hanya tersusun dari manyarakat suku Lio, dengan berbahasa Lio, dan beragama Katolik. Sama halnya dengan suatu desa di Kabupaten Pekalongan yang tersusun dari masyarakat suku Jawa, berbahasa Jawa dan mayoritas beragama Islam. Homogenitas semacam inilah yang setiap harinya dijumpai oleh sebagian besar anak-anak Indonesia.
Kurangnya pengalaman tentang keberagaman merupakan salah satu faktor kurangnya toleransi anak terhadap hal-hal yang berbeda, yang kemudian akan membawa mereka menjadi pribadi yang kurang bertoleransi dalam masyarakat. Fenomena kurangnya toleransi dalam bermasyarakat, terutama dalam menyikapi keberagaman kerap terjadi dalam masyarakat Indonesia. Sebagai contoh, pelantikan Ahok, keturunan etnis Tionghoa non muslim, sebagai Gubernur DKI Jakarta sempat menuai berbagai kontroversi dalam masyarakat. Mereka yang menolak berdalih bahwa pemimpin seharusnya berasal dari kalangan muslim,  dan keturunan etnis pribumi. Yang paling hangat di penghujung tahun 2014 kemarin adalah kontroversi boleh tidaknya umat muslim mengucapkan selamat Natal untuk saudara-saudara umat nasrani.  Tentu saja hal semacam ini tidak perlu menjadi polemik apabila rasa toleransi yang merupakan esensi dari semboyan negara kita benar-benar ditanamkan oleh masyarakatnya.
Rasa toleransi seyogyanya sudah mulai ditanamkan kepada anak-anak kita sejak dini. Sebagai generasi penerus bangsa, mereka diharapkan dapat menjadi pribadi yang toleran, demokratis, dan mampu beradaptasi dengan keberagaman seperti yang direfleksikan dalam Bhineka Tunggal Ika. Mereka mungkin hafal semboyan unity in  diversity beserta artinya diluar kepala. Namun apakah benar mereka telah menginternalisasi maknanya? Jika semboyan itu hanya mereka hafal, lalu bagaimakah cara agar generasi muda Indonesia dapat memaknai semboyan ini seutuhnya? Pendidikan dapat menjadi kendaraannya.  

Pendidikan Multikultural
Dewasa ini, pendidikan multikultural mulai digalakkan di banyak negara, termasuk Indonesia. Sama halnya dengan pendidikan karakter, pendidikan multikultural juga menjadi isu pendidikan yang saat ini mulai dikembangkan dalam penyusunan kurikulum. Pentingnya pendidikan multikultural mengacu pada prinsip penyelenggaraan pendidikan nasional, yang telah diuraikan secara jelas pada pasal 4 ayat (1) bahwa pendidikan dilakukan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa. Tilaar menggambarkan pendidikan multikultural sebagai  pendidikan yang mampu mengakomodir sekian ribu perbedaan dalam sebuah wadah yang harmonis, toleran, dan saling menghargai. Inilah yang diharapkan menjadi salah satu pilar kedamaian, kesejahteraan, kebahagian, dan keharmonisan kehidupan masyarakat Indonesia.
Tentu saja, pendidikan multikultural bukan lagi sebuah wacana, namun sudah menjadi urgensi di dunia pendidikan. Untuk itu perlu dipikirkan bagaimana memulai implementasinya. James A. Banks secara spesifik menyatakan bahwa pendidikan multikultural dapat dikonsepsikan dalam lima dimensi, yaitu: integrasi konten, proses penyusunan pengetahuan, mengurangi prasangka, pedagogi kesetaraan serta budaya dan struktur sekolah yang memberdayakan. Merujuk lima dimensi tersebut, dapat diartikan bahwa dalam hal ini sekolah menjadi medan utama, dan guru lah yang berada di garda depan penerapannya. Meskipun demikian, peran para pembuat kebijakan pun tetap harus maksimal. Menurut hemat saya, kebijakan pengintegrasian pendidikan multikultural dalam kurikulum pendidikan nasional perlu diimbangi dengan program lain yang menunjang. Dalam hal ini, Kemendikbud sebagai pembuat kebijakan dapat menyusun program pertukaran guru dan pelajar antar daerah sebagai wujud nyata pengenalan multikulturalisme secara nasional. Disamping itu, program semacam ini dapat menjadi program alternatif pemerataan kualitas pendidikan nasional.

Pertukaran pelajar dan guru antar daerah
                  Selama ini, pertukaran pelajar selalu diasosiasikan dengan tukar menukar pelajar ke luar negeri. Bahkan apabila kita melakukan pencarian di pranata google, yang akan muncul adalah program pertukaran ke mancanegara. Program semacam ini kerap ditawarkan sekolah-sekolah unggulan untuk siswa-siswa unggulan. Duta-duta terbaik bangsa disiapkan untuk membawa misi yang sangat mulia. Salah satunya yaitu memperkenalkan kebudayaan bangsa Indonesia di kancah internasional.
                  Tentu saja, merupakan hal yang membanggakan ketika siswa mengikuti pertukaran pelajar ke luar negeri, baik bagi siswa, orang tua, bahkan sekolah. Mereka dapat membagikan pengalaman yang mereka dapatkan selama di negara manca kepada teman-temannya. Hal ini memang akan baik untuk mempersiapkan generasi muda dalam menghadapi era globalisasi dimana batas antar negara menjadi seakan tidak kasat mata.
                  Meskipun demikian, akan lebih baik apabila gaung program pertukaran pelajar antar negara ini pun diimbangi dengan pertukaran pelajar antar daerah. Dengan demikian siswa-siswi dari berbagai daerah dapat belajar kebudayaan dan merasakan kehidupan di daerah lain. Misalnya, siswa dari Jawa Barat diberi kesempatan untuk belajar di sekolah di Kalimantan Utara. Siswa dari Papua kemudian ditempatkan di DIY. Banyak kombinasi pertukaran yang memungkinkan mengingat luas dan beragamnya Indonesia.
                  Dengan menyelenggarakan program semacam ini, wawasan kebangsaan siswa dikembangkan tidak hanya dalam tataran teori di dalam kelas. Siswa mendapatkan kesempatan untuk melihat Indonesia sebagai negara dengan keberagaman yang luar biasa secara langsung sebagai sebuah pengalaman hidup. Disinilah nantinya, pendidikan multikultural dapat menginjak ranah yang lebih konktit. Hidup bersama keluarga baru, di sekolah baru dan lingkungan baru dapat menjadi suatu cara untuk membentuk pribadi generasi muda yang kuat dan toleran, yang juga menyadari perlunya bertoleransi dan  beradaptasi dengan kebudayaan masyarakat yang berbeda dengan segala kelebihan dan keterbatasannya. Siswa-siswa yang menjadi duta daerah dapat memperkenalkan budaya daerah asalnya kepada lingkungan barunya, terutama sekolah. Kemudian sekembalinya dari program ini, mereka dapat berbagi pengalamannya kepada teman-teman di sekolah atau daerah asalnya.
                  Beberapa tahun belakangan ini, gaung pertukaran pelajar antar daerah sudah mulai terdengar, meskipun sebenarnya program semacam ini telah menjadi program nasional pemerintah sejak tahun 1974, misalnya, program pertukaran pelajar antar provinsi. Namun rasanya, greget program ini masih kurang. Yang sekarang menjadi program primadona adalah program akselerasi pendidikan daerah 3T (terdepan, terluar dan tertinggal). Pada tataran perguruan tinggi kini terdapat program ADIK (Afirmasi Peserta Didik) yang digawangi oleh Dirjen Dikti. Dengan program ini, siswa-siswi dari daerah 3T dapat memperoleh kesempatan untuk merasakan pendidikan yang lebih baik, sekaligus menjadi duta daerah yang memperkenalkan kebudayaan daerah asalnya ke lingkungan masyarakat baru. Perguruan tinggi kemudian dapat menjadi miniatur heterogenitas masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi kesetaraan dan kemajemukan budaya.
                  Salah satu program yang tak kalah penting dalam mempersiapkan calon tenaga pendidik yang profesional dan peka terhadap keberagaman adalah SM3T (Sarjana Mendidik di daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal) yang disusul dengan PPG SM3T, program PPL Papua, PPGT  (Pendidikan Profesi Guru Terpadu), PPG SMK Kolaboratif. Layaknya program ADIK, PPGT dan PPG SMK Kolaboratif memberikan kesempatan bagi siswa-siswi daerah 3T untuk mempersiapkan diri mereka menjadi guru di daerah asalnya masing-masing. Sedangkan program SM3T dan PPL Papua memberikan kesempatan pada calon guru untuk mengabdi sebagai tenaga pendidik di daerah 3T. Harapannya, melalui program semacam ini, guru di masa depan merupakan guru yang sudah berpengalaman hidup dalam masyarakat yang plural dan peka terhadap keberagaman,  yang kemudian dapat mentransferkan pengalaman tersebut ketika mengajar siswa-siswinya.
                  Program pengiriman calon guru dari dan ke daerah 3T ini mendapatkan apresiasi yang baik dari pemerintah pusat. Maka kedepannya bisa jadi pemerintah akan membuat kebijakan yang lebih ‘berkesinambungan’ lagi, yaitu mengadakan program pertukaran guru dalam jabatan. Menurut hemat saya, terlepas dari segala ‘keribetannya’ program semacam ini akan sangat baik untuk memberikan nuansa baru dalam dunia pendidikan. Para guru, baik yang berasal dari daerah lebih maju dan yang dari daerah bisa saling berstudi-banding, memperbaiki yang kurang dan belajar dari yang lebih baik. Selain itu, program semacam ini pun dapat memberikan pengalaman multikultural bagi siswa, guru, maupun masyarakat Indonesia pada umumnya. Dengan pendidikan multikultural sebagai senjatanya, wajah masyarakat Indonesia yang benar-benar multikultural, yang tidak terkungkung dalam pola homogenitas, dapat benar-benar tercapai.  

*) Penulis merupakan mahasiswa PPG SM3T 2014 Prodi Pendidikan Bahasa Inggris, LPTK UNNES