Akhir-akhir ini, pembicaraan
mengenai uji publik kurikulum 2013 sedang menjadi hot topic di kalangan
pemerhati dan praktisi pendidikan di Indonesia. Sontak, pro dan kontra mewarnai
terbitnya wacana pembaharuan kurikulum pendidkan nasional yang pada saat ini
menerapkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang baru diresmikan
penggunaannya sejak 6 tahun belakangan ini. sebagian berpendapat bahwasanya
perubahan kurikulum nantinya akan dapat memberikan dampak positif bagi kemajuan
pendidikan di Indonesia. Disisi lain, sebagian berpendapat bahwa kurikulum baru
ini mengandung beberapa titik kelemahan yang justru tidak membawa pendidikan Indonesia
ke arah perbaikan.
Beberapa hal yang dapat saya
tangkap dari bahan uji publik Kurikulum 2013, dan pertimbangan dari beberapa
tanggapan publik mengenai wacana ini adalah sebagai berikut:
1.
Penambahan
jam pelajaran dan lama siswa di sekolah.
Hal ini didasarkan pada hasil survei yang menyatakan bahwa
lama waktu yang dihabiskan siswa di sekolah Indonesia per minggunya lebih
sedikit dibandingkan rata-rata jam negara-negara di dunia. Sehingga, jumlah
penambahan jam dirasa perlu.
Segi
positifnya, penambahan 2-6 jam per minggunya diharapkan dapat memberikan
kontribusi dalam penyampaian pengetahuan dan meningkatkan kompetensi siswa
dalam menguasai sebuah konsep mata pelajaran. Selain itu, kendali sekolah atas
perilaku siswa menjadi lebih banyak. Dalam artian, sekolah menjadi ruang
keseharian siswa yang memegang peranan dalam pembentukan watak dan karakter, sehingga
diharapkan dapat mengurangi terjadinya kenakalan remaja, tawuran,
penyalahgunaan narkoba, dan kenakalan remaja lainnya.
Namun, pertanyaannya; apakah benar
penambahan jam pelajaran ini akan efektif meningkatkan kompetensi siswa dalam
mata pelajaran tertentu secara signifikan? Pertanyaan ini muncul seiring dengan
kenyataan bahwa daya tangkap siswa akan semakin menurun ketika mereka harus
berlama-lama menerima materi pelajaran sehingga penyerapan informasi dan
internalisasi nilai tidak dapat terbentuk secara maksimal.
2.
Pengurangan
mata pelajaran di beberapa tingkat satuan pendidikan
Ada beberapa hal yang menggelitik
mengenai pengurangan jumlah mata pelajaran, di tingkat sekolah menengah pertama
(SMP), dimana direncanakan mata pelajaran TIK akan dihapus, dan muatan lokal
yang tidak memberikan ruang bagi bahasa daerah untuk diajarkan. Dua hal inilah
yang banyak menuai protes di kalangan guru.
Saya yakin penghapusan mata pelajaran
TIK sebenarnya bermaksud baik. Mata pelajaran ini nantinya akan
diintegrasikan dengan seluruh mata pelajaran yang ada. Oleh karena itu, semua
mata pelajaran mempunyai akses untuk selalu berhubungan dengan teknologi
informasi dan komunikasi sesuai dengan tantangan globalisasi.
Namun hal ini perlu dipertimbangkan lagi
mengingat kondisi sekolah di seluruh Indonesia belum cukup mapan untuk
melakukan hal ini. Realitanya, banyak sekolah yang bahkan untuk mengakses
listrik saja masih kesulitan, apalagi untuk dapat sebegitu canggihnya hingga
semua mata pelajaran harus diintegrasikan dengan penggunaan teknologi.
Bukannya pesimis, tapi untuk dapat merealisasikan hal ini bukanlah semudah
membalikkan telapak tangan. Semuanya butuh proses, dan usaha riil untuk dapat
mewujudkan kemapanan itu salah satunya dapat dijembatani dengan adanya mata
pelajaran TIK di sekolah. Bukan hanya itu, jika benar TIK diintegrasikan dengan
mata pelajaran lain, maka pemerintah harus konsekuen dengan melakukan
pemerataan fasilitas pendidikan dan sarana prasarana. Ingat, Indonesia
terbentang dari Sabang sampai Merauke, bukan hanya Jawa yang seakan menjadi pusat
Indonesia.
Selanjutnya, mengenai mata pelajaran
Kelompok B (termasuk muatan lokal) yang diplotkan sebagai Seni Budaya,
Penjasorkes, dan Prakarya. Ada suatu hal yang ganjil disini, dimana muatan
lokal tidak memberikan ruang bagi bahasa daerah untuk diajarkan. Hal ini jelas
tidak lagi sesuai dengan acuan sistem nilai (lihat halaman 10 materi uji
publik), yang pada tataran dasar membawa sistem nilai lokal dan kearifannya
untuk dapat berkesinambungan bersama sistem nilai nasional dan universal.
Bahasa daerah dalam hal ini mempunyai peranan penting dalam mewujudkan
kompetensi masa depan siswa dalam ranah berkomunikasi dan memiliki kemampuan
hidup dalam masyarakat yang mengglobal. Tentusaja, pandangan globalisasi ini
seyogyanya tidak mengerucutkan pandangan nilai-nilai lokal yang berlaku dalam
masyarakat. Olehkarena itu, Bahasa Daerah berperan sebagai jembatan agar siswa
dapat tetap memiliki kemampuan hidup bermasyarakat, berkomunikasi, dan mencoba
untuk dapat mengerti dan bertoleransi terhadap pandangan yang berbeda. Dalam
hal ini, kenyataan keanekaragaman bahasa daerah dapat sebagai sarana untuk
menginternalisasikan nilai lokal, nasional, dan toleransi secara bersamaan
untuk dapat menciptakan generasi muda yang siap hidup di era globalisasi tanpa
meninggalkan jati dirinya sebagai anggota masyarakat yang berkearifan lokal.
3.
Pemerintah
menyiapkan semua komponen kurikulum, sampai buku teks dan pedoman.
Seperti yang
tertuang pada halaman 16 materi uji publik kurikulum 2013, pemerintah
menyiapkan semua komponen kurikulum, sampai buku teks dan pedoman. Tentu saja
ini adalah hal positif yang perlu diapresiasi mengingat pemerintah bertanggungjawab
sepenuhnya dalam pemenuhan kebutuhan pendidikan. Namun yang perlu digarisbawahi
adalah, apakah pemilihan materi buku teks nantinya akan digenerelisasikan
antara satu daerah dengan yang lainnya? Apabila peran kendali pemerintah, dalam
hal ini pemerintah pusat yang menentukan dan menyusun materi pelajaran tanpa
disesuaikan dengan kebutuhan, potensi dan kearifan lokal suatu daerah, imbasnya
pembelajaran tidak lagi kontekstual seperti yang diharapkan.
Sekali
lagi, bukannya pesimis dengan keadaan, namun realitanya, ada beberapa kasus
dimana buku teks yang pemerintah terbitkan kurang mengakomodasi kenyataan
pendidikan di daerah tertinggal. Sentralisasi materi yang mengacu pada realitas
‘ke-jawaan’ membuat siswa di daerah tertinggal merasa kesulitan menangkap esensi
materi pembelajaran yang notabennenya tidak sesuai dengan ranah kehidupan siswa
sehari-hari. Hal ini sering terjadi pada mata pelajaran bahasa, terutama bahasa
asing (Bahasa Inggris).
Sebagai contoh,
konteks kehidupan siswa yang banyak bersinggungan dengan ranah pertanian,
tiba-tiba harus belajar tentang bagaimana membaca pengumuman yang ada pada
sebuah ‘lift’. Sedangkan, siswa sendiri benar-benar tidak mengetahui konsep ‘lift’
karena dalam keseharian mereka tidak pernah bersinggungan dengan perangkat tersebut.
Sebenarnya pemilihan materi untuk tetap menjaga ke-kontekstualan suatu materi
pelajaran dapat dilakukan. Namun, tidak selamanya hal ini berimbas baik apabila
kedepannya siswa tetap harus dihadapkan pada ujian nasional yang standarnya
adalah, sekali lagi, ‘ke-Jawaan’ yang jauh dari konteks kehidupan siswa sehari-hari
khususnya bagi siswa yang tinggal di daerah luar Jawa.
Tentunya masih
ada hal beberapa lagi yang mestinya saya tulis disini. Menyangkut dengan
kurikulum tematik SD, kompetensi guru, kesiapan implementasi dan yang lain sebagainya, akan saya unggah kemudian. Saya sangat
mengharapkan pembaca dapat memberikan komentar mengenai tulisan ini, dan saya
membuka kesempatan seluas-luasnya bagi pembaca untuk memberikan masukan sebagai
bahan kontemplasi saya. Ruang diskusi saya buka selebar-lebarnya.
Terimakasih
Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar