Dingin.
Dari kejauhan terdengar suara angin terburu-buru berkejaran. Hembusannya lembut
menyeka kulit lembabku yang kini sudah agak menggelap. Tak lama kemudian, gemuruh suara itu mendekat,
merontokkan daun-daun gamal pagar kebun. Pohon-pohon kemiri dan cokelat terhuyung-huyung
seperti mabok minum moke. Rinai hujan sesekali jatuh berdenting terpental di atap
seng karatan. Kombinasi ini sungguh syahdu, ditambah dengan kabut putih
menyelimuti atmosfir desa kecil ini.
Hari
ini aku hanya duduk-duduk sembari menjahit beberapa celanaku yang robek tepat
di selangkangan. Memang, berat tubuhku naik semenjak hidup di sini. Kebiasaan
makan banyak dan pedas di keluarga Bapa dan Mama asuh membuat ku kalap. Tak
khayal tubuh kecil ini kini agak padat berisi. Ditambah lagi, musim hujan angin
memaksa tubuh untuk berhibernasi. Hanya duduk, masak, urus makan, main sisip dan
sesekali mampir ke belakang.
Ini
kali pertama aku merasakan ekstrimnya cuaca pedalaman Flores. Dulu, pertama
kali tiba di kampung ini, sering aku dengar cerita tentang kabut tebal, angin
kencang dan hujan lebat melanda daerah ini setiap Januari hingga awal April.
Sempat tidak begitu percaya mendengar guru-guru lain bercerita bahwa kegiatan
belajar mengajar tidak bisa dilakasanakan jika cuaca seperti itu. Terpaksa sekolah
harus diliburkan. Libur alam istilahnya. Kasihan anak-anak yang harus berjalan
kaki ke sekolah dari kampungnya yang cukup jauh. Jalan tanpa aspal yang
biasanya berdebu menjadi becek berlumpur. Bagian tengahnya yang berbatu
mendadak jadi seperti sungai kecil dengan gemericik alirannya mengikis jalan
yang belum pernah merasakan panasnya ter.
Walaupun
begitu, masih ada juga anak yang tetap berangkat sekolah. Seperti halnya aku
dan Ria, sarjana yang ditempatkan oleh universitas untuk mengajar di daerah
terpencil di pelosok Indonesia. Aku pikir, keadaan cuaca seperti ini bukanlah
alasan yang cukup kuat untuk tidak berangkat sekolah.
Hujan begini, membawa payung pun
percuma. Hembusan angin yang kencang itu justru mengubah payung jadi parabola.
Kemarin, Payung yang dibawa Ria, temanku, hampir putus benang-benang
pengaitnya. Untung saja, aku memutuskan untuk mengenakan jas hujan sehingga
tetap aman walau hujan lebat menerjang. Kabut tebal menghalangi pandangan
mataku yang memang sudah rabun. Berkacamata di hari hujan begini pun percuma.
Toh malah mengganggu karena embun seenaknya saja nemplok di sepasang benda
bening ini.
Tepat di pertigaan tanjakan menuju
sekolah tempatku mengajar, hujan lebat beserta angin menghadang langkahku dan
dua guru lain. Kami putuskan untuk berhenti sejenak menunggu angin kesetanan
lewat. Angin dan hujan besar dari arah bukit sekolah tiba-tiba datang
menerjang. Pohon-pohon berdecit seakan tak sanggup lagi menopang daun-daunnya
yang kian rontok.
“Kreteeeeeekkkk kreteeeeeekkk,,,
kraaaaaaaaakkkkkk,,, bruuuuuuugggg....” suara pohon tumbang membahana entah
datang dari arah mana. Ria menjerit lari menuju jalan setapak kebun jagung
milik mama. Aku sontak lari menuju arah jalan. “Awas Ri, sebaiknya kita tunggu
hujan dan angin agak reda sedikit baru mendaki lagi”, teriakku sambil menuju ke
arah Ria yang basah karena payungnya tak lagi berfungsi. “Iya Ibu, percuma kita
jalan kalo angin masih besar begini, napa
slo’o ro, de’u uja sawe ko”
timpal Pak Klemens. Ria pun mengiyakan.
Dari
pelipir jalan kulihat berderet jagung yang kami tanam sebelum Natal kemarin kini
tertunduk lesu. Entah angin akan bertanggungjawab menegakkan batang-batang itu
kembali ataukah akan lari begitu saja meninggalkan kekecewaan mama yang
berharap panen besar tahun ini. Februari nanti mungkin akan lebih kejam lagi.
Selesai
menjahit, aku ambil gulungan wool yang sudah selesai kurajut. Kulihat dari
sela-sela jendela pelupuh, kabut datang semakin menebal, semuanya terlihat
memutih. Mungkin begitulah rasanya salju. Kabut, salju primif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar