Pelajaran Bahasa
Indonesia hendak dimulai, seperti biasanya, aku mememinta dua orang murid untuk
mengambil buku teks di perpustakaan. Mereka celingukan, tidak ada yang bergegas
ambil langkah. Ketika aku tanya mengapa, salah satu dari mereka menjawab, “Kami
tidak diijinkan meminjam buku di perpustakaan lagi Bu.”
“Mengapa?”, tanyaku meminta penjelasan.
“Bapak petugas perpus tidak ijin kami pinjam buku,
perkara ada anak yang mencoret-coret dan menulis namanya di buku-buku itu
Bu...”. Aku hanya tersenyum.
Kelas hening sejenak.
Semua anak tertunduk. Hawa-hawa kemarahan sepertinya telah mereka rasakan
keluar dariku. Namun tentu saja, aku hanya tersenyum.
“Ada yang mau mengaku siapa yang melakukannya?” Semua
hanya terdiam. “Okay, sekarang Ibu
tanya, pernah tidak kalian mencoret-coret buku teks pelajaran itu, jawab saja,
kita coba sama-sama untuk jujur?”, tanyaku dengan ramah dan senyum.
“Iya Bu, pernah....”, anak-anak menjawab dengan serempak
dan kompak.
“Berarti semua dari kalian pernah melakukannya?”, tanyaku
meminta penegasan.
“Benar Bu, kita pernah melakukannya....”, semua anak
dengan cerianya riuh menjawab.
“Kalau begitu, kalian BANGGA?”. Tiba-tiba kelas yang riuh
menjadi sepi seperti di kuburan.
“Saya tegaskan lagi, apa menurut kalian, tindakan
menuliskan nama di buku itu merupakan tindakan yang membanggakan? Apakah
menurut kalian, perbuatan seperti itu akan membuat nama kalian terkenal dan
dikenang?” Mereka masih diam.
“Tidak Bu....”, jawab Oris lirih.
“Itu buku bukan milik kalian sendiri, kalian hanya
meminjam. Barang pinjaman itu harus dirawat dengan baik. Karena, tidak hanya
kalian yang menggunakannya. Teman-teman lain, adik-adik kelas kalian nanti juga
akan menggunakannya. Coba kalian renungkan, kira-kira tindakan kalian itu benar
tidak?” Anak-anak tidak ada yang berani menatap mataku. Semuanya tertunduk.
Terusterang, aku marah. Aku, memang bukan seseorang yang
punya hobi membaca, tapi aku suka membaca. Aku memang jarang membeli buku,
tetapi aku suka meminjam buku, entah di perpustakaan, di rental ataupun
teman-teman. Dan, sebagai seorang peminjam, aku selalu berusaha bertanggungjawab
pada buku yang aku pinjam. Perbuatan melipat, mencorat-coret, atau
memperlakukan buku dengan buruk merupakan suatu kejahatan, pikirku. Itu
merupakan sebuah penyiksaan terhadap buku. Buku memang benda mati, tapi apakah
sesuatu yang mati tidak punya hati? Buku pasti akan sedih ketika diperlakukan
dengan buruk. Sama seperti diri kita yang sedih ketika disakiti.
“Anak-anak, jika kalian memang ingin nama kalian dikenang
dan tercetak pada sebuah buku, bukan begitu caranya. Bukan dengan
mencorat-coret buku dengan menuliskan nama kalian. Suatu saat, kalian harus
menulis sesuatu. Menorehkan nama kalian dari hasil kerja kalian. Nama yang
tidak dapat dihapus. Nama yang akan dikenang”.
Dalam hati sebenarnya aku miris. Miris bukan karena
mereka. Miris dan malu pada diriku sendiri. Aku bisa menasehati mereka seperti
itu tapi aku sendiri belum tentu bisa melaksanakannya. Belum ada namaku yang
terukir tegas pada sebuah buku, ataupun lembaran cetak lainnya, kecuali, tentu
saja skripsiku yang kutulis sebagai tiketku untuk bisa jadi sarjana. Ah, betapa
berbicara itu mudah, namun sulit juga untuk melaksanakannya.
“Okay, kalau begitu, hari ini kita belajar tidak dengan
buku paket. Namun bukan berarti kalian selamanya tidak akan belajar dengan
buku. Kalian harus berusaha bagaimana caranya agar petugas perpus mengijinkan
kalian untuk meminjam buku lagi. Saya beri kalian waktu lima menit untuk
berpikir.” Perintahku pada anak-anak.
Selama lima menit itu aku pun juga berpikir. Memikirkan
bagaimana cara agar aku bisa melaksanakan apa yang aku nasihatkan, dan
memberikan usaha nyata agar murid-muridku pun bisa melaksanakan apa yang ku
nasehatkan itu. Entah ada angin dari mana, tiba-tiba sebuah ide merasuk ke
pikiranku, menulis buku untuk dan bersama anak-anak. Tidak masalah apakah
nantinya akan diterbitkan atau tidak, yang penting adalah usahanya.
<3<3<3
“Okay, hari ini kita
sudah belajar tentang apa saja?” Tanyaku pada murid-muridku.
“Tentang dongeng...”
jawab mereka dengan penuh semangat.
“Ada berapa jenis dongeng?”
“Ada empat....”
“Ada yang bisa
menyebutkan apa saja?”. Mendengarku bertanya begitu anak-anak langsung sigap
membuka kembali catatan mereka.
“Ada fabel, mite,
legenda”
“Dan sage”.
“Nah, kalau cerita Ine Pare termasuk jenis yang mana?”
“Legenda”, jawab Hendro,
anak yang performanya cenderung meningkat semenjak kena gigitan anjing terduga
rabies.
“Nah, sekarang, kita
akan mengadakan sayembara menulis cerita rakyat dari daerah Ende. PR kalian untuk
minggu depan adalah, menulis dongeng karya kalian sendiri. Dongengnya yang
berasal dari Ende. Misalnya, cerita tentang Ine
Pare, Lepembusu, dan lain sebagainya. Dua orang yang menulis dengan baik
akan saya beri hadiah, kemudian akan saya ketik untuk kenang-kenangan.
Kira-kira, kalian bisa tidak....”
“Bisa Bu...”
“Ingat, saya tetap akan
tahu kalau ada satu dari kalian yang mencontek dari buku. Jadi, tulislah
dongeng kalian sendiri. Bisa dimengerti?”
“Baik Bu....”
“Saya kira cukup sekian
untuk hari ini, Selamat siang....”.
Ruang
kelas masih saja riuh setelah aku tinggalkan. Mereka sepertinya bersemangat.
<3<3<3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar