Gadis-gadis kecil itu berlari menuju
lift, mendorong kursi roda seorang anak laki-laki berbau satai dengan untaian
kalung plastic di pergelangan tangannya.
Akhir tahun ini terasa sepi, 2007. Tahun penuh
kehilangan yang dalam.
Aku berada diantara keceriaan mereka sepanjang pekan
ini. Anak-anak kecil berlari, saling mempercandai, menghibur, dan menangis. Dan
kini aku bingung, darimana baiknya aku bercerita.
Dia bernama Lisa, gadis kecil seusia
anak kelas 2 SD yang mengidap kelainan jantung aneh. Aku tidak tahu pastinya
apa, sepertinya sangat rumit untuk dijelaskan. Setidaknya itulah yang aku
tangkap dari analisis dokter yang menanganinya. Dokter tidak kunjung
melakukan tindakan apa-apa bahkan setelah hampir tiga pekan Lisa berada di Bangsal
A2 ini.
Adikku mengungsi ke bangsal itu setelah aku mengantri kamar dari akhir bulan
November, dengan hanya berbekal surat pengantar, SKTM dan kartu rawat jalannya.
Akhirnya, saat itu datang juga. Sebuah tempat tidur pojok bangsal A2
resmi menjadi “hotel” ku dan ibuku.
Atmosfir bangsal A2 bukanlah hal
baru bagi adikku, maupun keluargaku. Hari-hari terakhirku merasakan kebersaman
bersama Bapak, Superheroku, ya disini ini. Di ruang berisikan tangisan
anak-anak dan rengekan manja para wanita pengidap kanker payudara. Bau nanah
bercampur betadin berasa bau satai gosong menjadi aroma terapi penghias hidung
kami di ruang ini.
Kali ini adikku mendapatkan jatah
tempat tidur dipojok sebelah dinding ruangan, tidak seperti 5 bulan lalu ketika
Bapak masih ada di tengah-tengah keceriaan keluarga kami, adik mendapat jatah
di dekat pintu masuk ruangan. Ranjang itu masih bertuliskan, VA, 10 th,
Postcolostomy, III, sama seperti dulu hanya saja, kali ini tidak ada sosok
laki-laki yang menemani kami, yang namanya tertera di papan putih itu.
Lisa, yang tadi aku ceritakan,
menempati ranjang depan adikku persis, diantara dua anak laki-laki pengidap
Hypospadia, Bimo dan anak si juragan bakso, Awang. Lisa berasal dari satu
Kabupaten yang kala itu dilanda bencana banjir besar. Rumahnya tengggelam
setinggi atap sehingga dia tidak bisa kembali pulang walaupun dokter telah
menyuruhnya untuk sementara rehat dirumah, sambil menunggu analisis tindakan
yang akan dilakukan pada jantung anak malang ini.
Sepekan disana Lisa, Bimo, Awang,
Saferi dan adikku menjalin persahabat yang saling mendukung. Lisa, Awang dan
Adikku mendorong kursi roda Bimo menembus kerumunan menuju lift untuk hanya
sekedar merasakan sensasi pusing setengah asyik naik turun ruangan tanpa meniti
tangga. Ini semua agar Bimo tetap ceria dengan penis kecilnya yang gosong.
Awang akan segera merasakannya. Lisa akan mengantarkan adikku yang selalu
menangis ketika menuju ruang businasi dan washout. Dan adikku akan membagikan
makanannya pada Lisa bahkan sebelum ia datang untuk meminta.
Setiap hari sepulang kuliah, aku
menghabiskan waktuku bercengkerama dengan mereka. Menceritakan tentang hujan,
boneka Barbie, kembang api, dan simpang lima. Malam itu adalah malam pergantian
tahun. Aku ceritakan pada anak-anak kecil itu tentang kembang api simpang lima
yang akan melempem kena hujan. Suaranya hanya akan terdengar meletup-letup
seperti suara angin adikku yang menggelembungkan plastik di perutnya. Aku
janjikan mereka untuk dapat jalan-jalan ke simpang lima, menyaksikan kejadian
ajaib yang hanya terjadi satu tahun sekali. Namun kali ini aku hanya bergurau.
Simpang lima yang aku janjikan bukanlah sebuah pusat keramaian kota ini,
melainkan sebuah persimpangan jalan no.5 yang menghubungkan koridor satu dengan
yang lain. Maksudku, aku akan membawa mereka kesana, dan kemudian menyalakan
kembang api (walau sepertinya, tidak mungkin dan itu tidak pernah terjadi)
Lisa menangis sejadi-jadinya. Dia
ingin ke simpang lima, ingin melihat kembang api besar-besar membumbung
dilangit. Dia meninju-ninju ibunya. Orang-orang satu bangsal bak keheranan. Tak
pernah mereka melihat gadis setegar dan seceria Lisa menangis begitu hebatnya.
Bahkan jarum suntik dan meja operasi saja tidak bisa membuatnya sebegitu
sedu-sedan. Dan kali ini, karena bualanku, anak malang ini seperti mengamuk dan
merasa tertipu. Dalam hati aku menyesal.
Tepat jam 00 suara kembang api
meledak-ledak memekikkan telinga. Anak-anak terbangun. Bapak-bapak mereka
keluar menuju teras bangsal menyaksikan kembang api simpang lima dari
ketinggian balkon. Ibu-ibu meyakinkan anaknya bahwa tidak terjadi apa-apa.
Hanya Lisa yang masih saja tertidur, capek menangis karena ulahku. Adikku
sendiri terjaga dari tidurnya.
Dalam lirih ia berbisik ”Mbak,
iki wes 1 Januari yo. Brati nyong ngesok mulai poso yo…..”
Aku hanya bisa terdiam. Aku genggam erat jemari adikku
untuk menunjukkan bahwa semua akan baik-baik saja. Ada ibu dan Mbak. Ada Bapak
yang selalu berdoa karena beliau kini lebih dekat dengan Tuhan.
Tahun itu, aku mulai dengan harapan
dan keajaiban…..
Kadang aku ingin tahu, bagaimana kabar
gadis kecil itu, apakah dia sudah sembuh dari sakitnya, apakah dia masih saja
cerewet. Terakhir aku tahu kabar Lisa, dokter masih belum tahu bagaimana tindak
lanjut pengobatannya. Semoga sekarang dia baik-baik saja, dan suatu saat dapat
menyaksikan kembang api Simpang Lima……
NB: Tulisan ini sudah pernah dipostingkan sebelumnya di blog www.,coconuttrees.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar