Ditulis
oleh:
Nia
Martiana, S.Pd., Gr.*)
Tidak
dapat dipungkiri bahwa Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Hal
ini membawa kita pada kenyataan betapa luas wilayah darat dan lautnya, serta
beragam suku dan bangsanya. Sehingga Indonesia bisa dikatakan sebagai negara
yang multikultural. Negara ini disusun dari kepingan suku, bahasa dan budaya
yang menyatu menjadi Indonesia. Maka tepat jika Bhineka Tunggal Ika dijadikan
sebagai semboyan negara kita ini.
Namun
sayangnya, cerminan Indonesia yang multikultural hanya bisa dijumpai di
kota-kota urban. Sedangkan susunan
masyarakat di desa-desa cenderung homogen. Jarang ditemui keberagaman suku,
budaya dan agama yang cukup signifikan pada suatu wilayah desa. Misalnya, suatu
desa di Kabupaten Ende, NTT, hanya tersusun dari manyarakat suku Lio, dengan
berbahasa Lio, dan beragama Katolik. Sama halnya dengan suatu desa di Kabupaten
Pekalongan yang tersusun dari masyarakat suku Jawa, berbahasa Jawa dan
mayoritas beragama Islam. Homogenitas semacam inilah yang setiap harinya
dijumpai oleh sebagian besar anak-anak Indonesia.
Kurangnya
pengalaman tentang keberagaman merupakan salah satu faktor kurangnya toleransi
anak terhadap hal-hal yang berbeda, yang kemudian akan membawa mereka menjadi
pribadi yang kurang bertoleransi dalam masyarakat. Fenomena kurangnya toleransi
dalam bermasyarakat, terutama dalam menyikapi keberagaman kerap terjadi dalam
masyarakat Indonesia. Sebagai contoh, pelantikan Ahok, keturunan etnis Tionghoa
non muslim, sebagai Gubernur DKI Jakarta sempat menuai berbagai kontroversi
dalam masyarakat. Mereka yang menolak berdalih bahwa pemimpin seharusnya berasal
dari kalangan muslim, dan keturunan etnis
pribumi. Yang paling hangat di penghujung tahun 2014 kemarin adalah kontroversi
boleh tidaknya umat muslim mengucapkan selamat Natal untuk saudara-saudara umat
nasrani. Tentu saja hal semacam ini
tidak perlu menjadi polemik apabila rasa toleransi yang merupakan esensi dari
semboyan negara kita benar-benar ditanamkan oleh masyarakatnya.
Rasa
toleransi seyogyanya sudah mulai ditanamkan kepada anak-anak kita sejak dini.
Sebagai generasi penerus bangsa, mereka diharapkan dapat menjadi pribadi yang
toleran, demokratis, dan mampu beradaptasi dengan keberagaman seperti yang
direfleksikan dalam Bhineka Tunggal Ika. Mereka mungkin hafal semboyan unity in
diversity beserta artinya diluar kepala. Namun apakah benar mereka
telah menginternalisasi maknanya? Jika semboyan itu hanya mereka hafal, lalu
bagaimakah cara agar generasi muda Indonesia dapat memaknai semboyan ini
seutuhnya? Pendidikan dapat menjadi kendaraannya.
Pendidikan Multikultural
Dewasa
ini, pendidikan multikultural mulai digalakkan di banyak negara, termasuk
Indonesia. Sama halnya dengan pendidikan karakter, pendidikan multikultural
juga menjadi isu pendidikan yang saat ini mulai dikembangkan dalam penyusunan
kurikulum. Pentingnya pendidikan multikultural mengacu pada prinsip
penyelenggaraan pendidikan nasional, yang telah diuraikan secara jelas pada
pasal 4 ayat (1) bahwa pendidikan dilakukan secara demokratis dan berkeadilan
serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai
keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa. Tilaar menggambarkan pendidikan
multikultural sebagai pendidikan yang
mampu mengakomodir sekian ribu perbedaan dalam sebuah wadah yang harmonis,
toleran, dan saling menghargai. Inilah yang diharapkan menjadi salah satu pilar
kedamaian, kesejahteraan, kebahagian, dan keharmonisan kehidupan masyarakat
Indonesia.
Tentu
saja, pendidikan multikultural bukan lagi sebuah wacana, namun sudah menjadi
urgensi di dunia pendidikan. Untuk itu perlu dipikirkan bagaimana memulai
implementasinya. James A. Banks secara spesifik menyatakan bahwa pendidikan
multikultural dapat dikonsepsikan dalam lima dimensi, yaitu: integrasi konten,
proses penyusunan pengetahuan, mengurangi prasangka, pedagogi kesetaraan serta
budaya dan struktur sekolah yang memberdayakan. Merujuk lima dimensi tersebut, dapat
diartikan bahwa dalam hal ini sekolah menjadi medan utama, dan guru lah yang
berada di garda depan penerapannya. Meskipun demikian, peran para pembuat
kebijakan pun tetap harus maksimal. Menurut hemat saya, kebijakan
pengintegrasian pendidikan multikultural dalam kurikulum pendidikan nasional
perlu diimbangi dengan program lain yang menunjang. Dalam hal ini, Kemendikbud
sebagai pembuat kebijakan dapat menyusun program pertukaran guru dan pelajar
antar daerah sebagai wujud nyata pengenalan multikulturalisme secara nasional.
Disamping itu, program semacam ini dapat menjadi program alternatif pemerataan
kualitas pendidikan nasional.
Pertukaran pelajar dan guru antar
daerah
Selama ini, pertukaran pelajar
selalu diasosiasikan dengan tukar menukar pelajar ke luar negeri. Bahkan
apabila kita melakukan pencarian di pranata google, yang akan muncul adalah
program pertukaran ke mancanegara. Program semacam ini kerap ditawarkan
sekolah-sekolah unggulan untuk siswa-siswa unggulan. Duta-duta terbaik bangsa
disiapkan untuk membawa misi yang sangat mulia. Salah satunya yaitu
memperkenalkan kebudayaan bangsa Indonesia di kancah internasional.
Tentu saja, merupakan hal yang
membanggakan ketika siswa mengikuti pertukaran pelajar ke luar negeri, baik
bagi siswa, orang tua, bahkan sekolah. Mereka dapat membagikan pengalaman yang
mereka dapatkan selama di negara manca kepada teman-temannya. Hal ini memang
akan baik untuk mempersiapkan generasi muda dalam menghadapi era globalisasi
dimana batas antar negara menjadi seakan tidak kasat mata.
Meskipun demikian, akan lebih
baik apabila gaung program pertukaran pelajar antar negara ini pun diimbangi
dengan pertukaran pelajar antar daerah. Dengan demikian siswa-siswi dari
berbagai daerah dapat belajar kebudayaan dan merasakan kehidupan di daerah
lain. Misalnya, siswa dari Jawa Barat diberi kesempatan untuk belajar di
sekolah di Kalimantan Utara. Siswa dari Papua kemudian ditempatkan di DIY.
Banyak kombinasi pertukaran yang memungkinkan mengingat luas dan beragamnya
Indonesia.
Dengan menyelenggarakan
program semacam ini, wawasan kebangsaan siswa dikembangkan tidak hanya dalam
tataran teori di dalam kelas. Siswa mendapatkan kesempatan untuk melihat
Indonesia sebagai negara dengan keberagaman yang luar biasa secara langsung
sebagai sebuah pengalaman hidup. Disinilah nantinya, pendidikan multikultural
dapat menginjak ranah yang lebih konktit. Hidup bersama keluarga baru, di
sekolah baru dan lingkungan baru dapat menjadi suatu cara untuk membentuk
pribadi generasi muda yang kuat dan toleran, yang juga menyadari perlunya
bertoleransi dan beradaptasi dengan kebudayaan
masyarakat yang berbeda dengan segala kelebihan dan keterbatasannya. Siswa-siswa
yang menjadi duta daerah dapat memperkenalkan budaya daerah asalnya kepada
lingkungan barunya, terutama sekolah. Kemudian sekembalinya dari program ini,
mereka dapat berbagi pengalamannya kepada teman-teman di sekolah atau daerah
asalnya.
Beberapa tahun belakangan ini,
gaung pertukaran pelajar antar daerah sudah mulai terdengar, meskipun sebenarnya
program semacam ini telah menjadi program nasional pemerintah sejak tahun 1974,
misalnya, program pertukaran pelajar antar provinsi. Namun rasanya, greget program ini masih kurang. Yang
sekarang menjadi program primadona adalah program akselerasi pendidikan daerah
3T (terdepan, terluar dan tertinggal). Pada tataran perguruan tinggi kini
terdapat program ADIK (Afirmasi Peserta Didik) yang digawangi oleh Dirjen
Dikti. Dengan program ini, siswa-siswi dari daerah 3T dapat memperoleh
kesempatan untuk merasakan pendidikan yang lebih baik, sekaligus menjadi duta
daerah yang memperkenalkan kebudayaan daerah asalnya ke lingkungan masyarakat
baru. Perguruan tinggi kemudian dapat menjadi miniatur heterogenitas masyarakat
Indonesia yang menjunjung tinggi kesetaraan dan kemajemukan budaya.
Salah satu program yang tak
kalah penting dalam mempersiapkan calon tenaga pendidik yang profesional dan
peka terhadap keberagaman adalah SM3T (Sarjana Mendidik di daerah Terdepan,
Terluar, dan Tertinggal) yang disusul dengan PPG SM3T, program PPL Papua, PPGT (Pendidikan Profesi Guru Terpadu), PPG SMK
Kolaboratif. Layaknya program ADIK, PPGT dan PPG SMK Kolaboratif memberikan
kesempatan bagi siswa-siswi daerah 3T untuk mempersiapkan diri mereka menjadi
guru di daerah asalnya masing-masing. Sedangkan program SM3T dan PPL Papua
memberikan kesempatan pada calon guru untuk mengabdi sebagai tenaga pendidik di
daerah 3T. Harapannya, melalui program semacam ini, guru di masa depan merupakan
guru yang sudah berpengalaman hidup dalam masyarakat yang plural dan peka
terhadap keberagaman, yang kemudian
dapat mentransferkan pengalaman tersebut ketika mengajar siswa-siswinya.
Program pengiriman calon guru dari
dan ke daerah 3T ini mendapatkan apresiasi yang baik dari pemerintah pusat.
Maka kedepannya bisa jadi pemerintah akan membuat kebijakan yang lebih ‘berkesinambungan’
lagi, yaitu mengadakan program pertukaran guru dalam jabatan. Menurut hemat
saya, terlepas dari segala ‘keribetannya’ program semacam ini akan sangat baik
untuk memberikan nuansa baru dalam dunia pendidikan. Para guru, baik yang
berasal dari daerah lebih maju dan yang dari daerah bisa saling
berstudi-banding, memperbaiki yang kurang dan belajar dari yang lebih baik.
Selain itu, program semacam ini pun dapat memberikan pengalaman multikultural
bagi siswa, guru, maupun masyarakat Indonesia pada umumnya. Dengan pendidikan
multikultural sebagai senjatanya, wajah masyarakat Indonesia yang benar-benar
multikultural, yang tidak terkungkung dalam pola homogenitas, dapat benar-benar
tercapai.
*)
Penulis merupakan mahasiswa PPG SM3T 2014
Prodi Pendidikan Bahasa Inggris, LPTK UNNES
Tidak ada komentar:
Posting Komentar