Setelah entah berapa purnama berlalu,
Alhamdulillah mendapati lagi pengalaman makan sambil menangis. Ini terasa
romantis, meskipun makan sendiri, hanya dengan nasi dan telur goreng. Sebuah momen
langka, yang sayang untuk dilewatkan.
Sudah 10 hari lamanya merasakan tak enak makan
berkat invasi keluarga Salmonella. Kukira keadaan membaik karena kaplet
Lumbricus yang katanya manjur. Bisa jadi, makhluk penyubur tanah yang
menggelikan itu memberikan khasiat dan manfaat. Ah, padahal kalau melihat
bentuk nyatanya rasanya tak menambah nafsu makan. Begitu hebatnya yang
mengijinkan makhluk itu berperan, membuatku merasa sudah saatnya kembali
menikmati momen makan.
Apakah itu hanya sugesti?
Lalu Siapa yang membuatku bisa merasakan
nikmatnya momen makan ini? Apakah ini terasa nikmat karena aku mampu beli
beras, telur, garam dan minyak goreng yang sedang langka dan mahal itu? Ah,
nyatanya beras yang kumakan adalah buah perhatian kawanku yang habis panen padi
kampung. Telur kuperoleh karena kebaikan hati muridku yang mau meluangkan waktu
untuk sejenak ke warung. Lalu minyak yang kugunakan adalah cemceman untuk
simpan kemiri, kubeli saat keberadaannya belum sulit dicari.
Berarti bukan karena aku mampu beli.
Lalu mengapa aku menangis?
Karena Dia yang berbaik hati, mengizinkan, dan
memberi kemampuan. Seandainya aku dikatakan mampu bukan berarti karena aku mampu,
atau hanya sekedar mau. Seandainya aku kuat nyatanya aku sempat kalah bertanding
dengan Salmonella.
Aku menangis karena begitu nikmatnya makananku.
Meskipun sedang tidak bersama mereka yang membuat momen romantis dikatakan
‘romantis’. Tapi ini romantis.
Lalu mengapa aku begitu lugu mengatakan ini
adalah momen langka?
Padahal nikmat yang Dia berikan jauh dari kata
jarang, tak seperti minyak goreng yang entah sekarang belinya dimana.
Catatan sebelum Ramadhan 1443
Tidak ada komentar:
Posting Komentar