Selasa, 11 Desember 2012

Kurikulum 2013 in My Opinion (1st part)


Akhir-akhir ini, pembicaraan mengenai uji publik kurikulum 2013 sedang menjadi hot topic di kalangan pemerhati dan praktisi pendidikan di Indonesia. Sontak, pro dan kontra mewarnai terbitnya wacana pembaharuan kurikulum pendidkan nasional yang pada saat ini menerapkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang baru diresmikan penggunaannya sejak 6 tahun belakangan ini. sebagian berpendapat bahwasanya perubahan kurikulum nantinya akan dapat memberikan dampak positif bagi kemajuan pendidikan di Indonesia. Disisi lain, sebagian berpendapat bahwa kurikulum baru ini mengandung beberapa titik kelemahan yang justru tidak membawa pendidikan Indonesia ke arah perbaikan.
Beberapa hal yang dapat saya tangkap dari bahan uji publik Kurikulum 2013, dan pertimbangan dari beberapa tanggapan publik mengenai wacana ini adalah sebagai berikut:
1.       Penambahan jam pelajaran dan lama siswa di sekolah.
Hal ini didasarkan pada hasil survei yang menyatakan bahwa lama waktu yang dihabiskan siswa di sekolah Indonesia per minggunya lebih sedikit dibandingkan rata-rata jam negara-negara di dunia. Sehingga, jumlah penambahan jam dirasa perlu.
                Segi positifnya, penambahan 2-6 jam per minggunya diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam penyampaian pengetahuan dan meningkatkan kompetensi siswa dalam menguasai sebuah konsep mata pelajaran. Selain itu, kendali sekolah atas perilaku siswa menjadi lebih banyak. Dalam artian, sekolah menjadi ruang keseharian siswa yang memegang peranan dalam pembentukan watak dan karakter, sehingga diharapkan dapat mengurangi terjadinya kenakalan remaja, tawuran, penyalahgunaan narkoba, dan kenakalan remaja lainnya.
Namun, pertanyaannya; apakah benar penambahan jam pelajaran ini akan efektif meningkatkan kompetensi siswa dalam mata pelajaran tertentu secara signifikan? Pertanyaan ini muncul seiring dengan kenyataan bahwa daya tangkap siswa akan semakin menurun ketika mereka harus berlama-lama menerima materi pelajaran sehingga penyerapan informasi dan internalisasi nilai tidak dapat terbentuk secara maksimal.
2.       Pengurangan mata pelajaran di beberapa tingkat satuan pendidikan
Ada beberapa hal yang menggelitik mengenai pengurangan jumlah mata pelajaran, di tingkat sekolah menengah pertama (SMP), dimana direncanakan mata pelajaran TIK akan dihapus, dan muatan lokal yang tidak memberikan ruang bagi bahasa daerah untuk diajarkan. Dua hal inilah yang banyak menuai protes di kalangan guru.
Saya yakin penghapusan mata pelajaran TIK sebenarnya bermaksud baik. Mata pelajaran ini nantinya akan diintegrasikan dengan seluruh mata pelajaran yang ada. Oleh karena itu, semua mata pelajaran mempunyai akses untuk selalu berhubungan dengan teknologi informasi dan komunikasi sesuai dengan tantangan globalisasi.
Namun hal ini perlu dipertimbangkan lagi mengingat kondisi sekolah di seluruh Indonesia belum cukup mapan untuk melakukan hal ini. Realitanya, banyak sekolah yang bahkan untuk mengakses listrik saja masih kesulitan, apalagi untuk dapat sebegitu canggihnya hingga semua mata pelajaran harus diintegrasikan dengan penggunaan teknologi. Bukannya pesimis, tapi untuk dapat merealisasikan hal ini bukanlah semudah membalikkan telapak tangan. Semuanya butuh proses, dan usaha riil untuk dapat mewujudkan kemapanan itu salah satunya dapat dijembatani dengan adanya mata pelajaran TIK di sekolah. Bukan hanya itu, jika benar TIK diintegrasikan dengan mata pelajaran lain, maka pemerintah harus konsekuen dengan melakukan pemerataan fasilitas pendidikan dan sarana prasarana. Ingat, Indonesia terbentang dari Sabang sampai Merauke, bukan hanya Jawa yang seakan menjadi pusat Indonesia.
Selanjutnya, mengenai mata pelajaran Kelompok B (termasuk muatan lokal) yang diplotkan sebagai Seni Budaya, Penjasorkes, dan Prakarya. Ada suatu hal yang ganjil disini, dimana muatan lokal tidak memberikan ruang bagi bahasa daerah untuk diajarkan. Hal ini jelas tidak lagi sesuai dengan acuan sistem nilai (lihat halaman 10 materi uji publik), yang pada tataran dasar membawa sistem nilai lokal dan kearifannya untuk dapat berkesinambungan bersama sistem nilai nasional dan universal. Bahasa daerah dalam hal ini mempunyai peranan penting dalam mewujudkan kompetensi masa depan siswa dalam ranah berkomunikasi dan memiliki kemampuan hidup dalam masyarakat yang mengglobal. Tentusaja, pandangan globalisasi ini seyogyanya tidak mengerucutkan pandangan nilai-nilai lokal yang berlaku dalam masyarakat. Olehkarena itu, Bahasa Daerah berperan sebagai jembatan agar siswa dapat tetap memiliki kemampuan hidup bermasyarakat, berkomunikasi, dan mencoba untuk dapat mengerti dan bertoleransi terhadap pandangan yang berbeda. Dalam hal ini, kenyataan keanekaragaman bahasa daerah dapat sebagai sarana untuk menginternalisasikan nilai lokal, nasional, dan toleransi secara bersamaan untuk dapat menciptakan generasi muda yang siap hidup di era globalisasi tanpa meninggalkan jati dirinya sebagai anggota masyarakat yang berkearifan lokal.

3.       Pemerintah menyiapkan semua komponen kurikulum, sampai buku teks dan pedoman.
Seperti yang tertuang pada halaman 16 materi uji publik kurikulum 2013, pemerintah menyiapkan semua komponen kurikulum, sampai buku teks dan pedoman. Tentu saja ini adalah hal positif yang perlu diapresiasi mengingat pemerintah bertanggungjawab sepenuhnya dalam pemenuhan kebutuhan pendidikan. Namun yang perlu digarisbawahi adalah, apakah pemilihan materi buku teks nantinya akan digenerelisasikan antara satu daerah dengan yang lainnya? Apabila peran kendali pemerintah, dalam hal ini pemerintah pusat yang menentukan dan menyusun materi pelajaran tanpa disesuaikan dengan kebutuhan, potensi dan kearifan lokal suatu daerah, imbasnya pembelajaran tidak lagi kontekstual seperti yang diharapkan.
                Sekali lagi, bukannya pesimis dengan keadaan, namun realitanya, ada beberapa kasus dimana buku teks yang pemerintah terbitkan kurang mengakomodasi kenyataan pendidikan di daerah tertinggal. Sentralisasi materi yang mengacu pada realitas ‘ke-jawaan’ membuat siswa di daerah tertinggal merasa kesulitan menangkap esensi materi pembelajaran yang notabennenya tidak sesuai dengan ranah kehidupan siswa sehari-hari. Hal ini sering terjadi pada mata pelajaran bahasa, terutama bahasa asing (Bahasa Inggris).
Sebagai contoh, konteks kehidupan siswa yang banyak bersinggungan dengan ranah pertanian, tiba-tiba harus belajar tentang bagaimana membaca pengumuman yang ada pada sebuah ‘lift’. Sedangkan, siswa sendiri benar-benar tidak mengetahui konsep ‘lift’ karena dalam keseharian mereka tidak pernah bersinggungan dengan perangkat tersebut. Sebenarnya pemilihan materi untuk tetap menjaga ke-kontekstualan suatu materi pelajaran dapat dilakukan. Namun, tidak selamanya hal ini berimbas baik apabila kedepannya siswa tetap harus dihadapkan pada ujian nasional yang standarnya adalah, sekali lagi, ‘ke-Jawaan’ yang jauh dari konteks kehidupan siswa sehari-hari khususnya bagi siswa yang tinggal di daerah luar Jawa.
                                                                        

Tentunya masih ada hal beberapa lagi yang mestinya saya tulis disini. Menyangkut dengan kurikulum tematik SD, kompetensi guru, kesiapan implementasi dan yang lain sebagainya, akan saya unggah kemudian. Saya sangat mengharapkan pembaca dapat memberikan komentar mengenai tulisan ini, dan saya membuka kesempatan seluas-luasnya bagi pembaca untuk memberikan masukan sebagai bahan kontemplasi saya. Ruang diskusi saya buka selebar-lebarnya.

Terimakasih
Salam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar