Selasa, 26 April 2022

KONEKSI ANTAR MATERI MODUL 3.1

 PENGAMBILAN KEPUTUSAN SEBAGAI PEMIMPIN PEMBELAJARAN

Ditulis oleh: Nia Martiana, S.Pd.

CGP Angkatan 4 Kab. Sintang

SMP Negeri 8 Satap Tempunak


Bagaimana pandangan Ki Hajar Dewantara dengan filosofi Pratap Triloka memiliki pengaruh terhadap bagaimana sebuah pengambilan keputusan sebagai seorang pemimpin pembelajaran diambil?

Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantara, membuahkan 3 filosofi pendidikan yang dikenal dengan Pratap Triloka, yaitu: Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, dan tut wuri handayani. Seorang pendidik hendaknya meresapi makna dari filosofi luhur ini. Sehingga, dalam melaksanakan pelayanan pendidikan, pendidik dapat menempatkan diri dengan baik, menjadi contoh, dan menggerakkan minat belajar murid, serta membimbing mereka untuk mencapai kebahagian dan keselamatan dalam hidup.

Dalam melakukan pelayanan pendidikan, pendidik sering kali dihadapkan pada situasi pengambilan keputusan yang pelik secara etik. Dengan kesadaran adanya filosofi ing ngarsa sung tuladha (di depan menjadi contoh yang baik), pendidik perlu menjadi contoh sebagai pembuat keputusan yang bijak dalam menyikapi permasalahan dalam perannya sebagai pemimpin pembelajaran.

Filosofi ing madya mangun karsa (di tengah menggerakkan), mengingatkan pendidik bahwa keputusan yang diambil sebisa mungkin dapat mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang terlibat, sehingga dapat menjadi jalan tengah yang menggerakkan di kedua sisi. Meskipun ini terkesan sulit, melakukan investigasi opsi trilema mungkin akan membantu.

Filosofi Tut Wuri Handayani (dari belakang membimbing), mengingatkan bahwa pendidik mempunyai peran penting dalam membimbing murid untuk menemukan jalan dan menentukan keputusan apa yang baik bagi diri mereka. Melakukan coaching dapat menjadi sarana bimbingan yang tepat dalam hal ini.

Bagaimana nilai-nilai yang tertanam dalam diri kita, berpengaruh kepada prinsip-prinsip yang kita ambil dalam pengambilan suatu keputusan?

Setiap manusia mempunyai nilai-nilai dan keyakinan yang sudah tertanam dan terpatri dalam diri, yang menjadi refleksi dari pengalaman-pengalaman hidup yang telah dialami. Nilai-nilai dan keyakinan ini agaknya memang tidak tampak, tetapi akan terlihat dan berpengaruh pada prinsip-prinsip yang diambil dalam pengambilan keputusan, sebagai reaksi dari apa yang dipercaya dan pernah dialami.

Marilah kita cermati diagram gunung es berikut ini:


Pola pikir, kepercayaan dan nilai-nilai merupakan identitas bawah sadar seseorang, yang akan mempengaruhi bagaimana cara pandangnya dalam menghadapi suatu permasalahan, dan mengambil keputusan. Ketiganya secara tidak sadar akan menjadi acuan dalam bertindak, berpikir, dan mengambil keputusan.

Bagaimana kegiatan terbimbing yang kita lakukan pada materi pengambilan keputusan berkaitan dengan kegiatan 'coaching' (bimbingan) yang diberikan pendamping atau fasilitator dalam perjalanan proses pembelajaran kita, terutama dalam pengujian pengambilan keputusan yang telah kita ambil. Apakah pengambilan keputusan tersebut telah efektif, masihkah ada pertanyaan-pertanyaan dalam diri kita atas pengambilan keputusan tersebut. Hal-hal ini tentunya bisa dibantu oleh sesi 'coaching' yang telah dibahas pada modul 2 sebelumnya.

Alhamdulillah, dalam kegiatan pembelajaran modul 3.1 ini, fasilitator dan pendamping praktik sangat berperan dalam membimbing CGP dalam membuat keputusan. Ruang kolaborasi: diskusi kelompok memberikan kami kesempatan untuk memilih satu kasus dilema etika dalam pengambilan keputusan sebagai pemimpin pembelajaran. Pendampingan dan bimbingan dari fasilitator dan pendamping praktik memberikan kami kepercayaan diri bahwa keputusan yang kami ambil sudah efektif dan dapat dipertanggungjawabkan.

Bagaimana kemampuan guru dalam mengelola dan menyadari aspek sosial emosionalnya akan berpengaruh terhadap pengambilan keputusan?

Dalam pengambilan keputusan, yang perlu diperhatikan guru pertama kali adalah, untuk tidak membiarkan sistem kerja otak cepat yang sifatnya otomasi mempengaruhi dirinya. Untuk menghindari keputusan yang diambil berdasarkan emosi sesaat saja, mengingat sistem kerja ini menggunakan otak mamalia (amigdala), yang berhubungan dengan emosi.

Untuk mengaktifkan dan mengefektifkan sistem kerja lambat otak dalam pengambilan keputusan, pengelolaan dan kesadaran aspek sosial emosional akan menjadi penting. Sehingga keputusan yang diambil berdasarkan pertimbangan-pertimbangan matang yang diproses melalui penggunaan otak luhur manusia.

Lalu bagaimana caranya? Saya rasa, latihan berkesadaran penuh dapat menjadi cara untuk mengaktifkan dan mengefektifkan sistem kerja lambat otak.

• Bagaimana pembahasan studi kasus yang fokus pada masalah moral atau etika kembali kepada nilai-nilai yang dianut seorang pendidik.

Seperti yang telah saya jelaskan pada bagian sebelumnya bahwa nilai-nilai dan kepercayaan adalah merupakan identitas bawah sadar seseorang, termasuk juga pendidik. Yang mana, nilai-nilai ini akan mempengaruhi bagaimana cara pandang seseorang dalam menanggapi suatu permasalahan moral, dan menentukan keputusan atas permasalahan tersebut.

Dalam kasus dilema etika dimana permasalahan yang dihadapi adalah benar lawan benar, maka tidak ada keputusan yang dianggap ‘salah'. Karena apapun keputusannya, dipengaruhi oleh nilai-nilai kebajikan universal yang sudah tertanam dan terpatri dalam diri seorang pendidik yang bersangkutan.

Bagaimana pengambilan keputusan yang tepat, tentunya berdampak pada terciptanya lingkungan yang positif, kondusif, aman dan nyaman.

Pengambilan keputusan yang tepat, yang dilandasi oleh olah pikir yang jernih, acap kali belum dapat mengakomodasi semua kepentingan yang bersangkutan. Akan tetapi, keputusan yang diambil dengan tepat, dapat meminimalisasi adanya gesekan sebagai akibat dari pengambilan keputusan. Dengan minimnya gesekan yang terjadi, maka akan berdampak pada terciptanya lingkungan yang positif, kondusif, aman dan nyaman.

Selanjutnya, apakah kesulitan-kesulitan di lingkungan Anda yang sulit dilaksanakan untuk menjalankan pengambilan keputusan terhadap kasus-kasus dilema etika ini? Apakah ini kembali ke masalah perubahan paradigma di lingkungan Anda?

Saya rasa, kesulitan di lingkungan saya dalam menjalankan pengambilan keputusan terhadap kasus dilema etika adalah, kenyataan bahwa setiap individu di lingkungan saya (dalam konteks sekolah tempat saya mengajar) adalah pribadi yang berbeda satu sama lain. Otomatis, akan ada berbagai sudut pandang dalam menghadapi kasus dilema etika. Maka menyamakan persepsi mungkin akan menjadi hal yang ‘sulit’, mengingat setiap individu mempunyai nilai-nilai dan kepercayaan yang membentuk identitas diri, yang mungkin berbeda satu sama lain.

Kesulitan selanjutnya adalah, tidak semua rekan sejawat saya memahami konsep pendidikan yang berpihak kepada murid. Ini akan menjadi tantangan ketika saya dihadapkan pada situasi dimana pengambilan keputusan melibatkan orang banyak, dan belum memahami paradigma berpikir yang berpihak kepada murid.

Dan pada akhirnya, apakah pengaruh pengambilan keputusan yang kita ambil ini dengan pengajaran yang memerdekakan murid-murid kita?

Dalam konteks pembelajaran di kelas, keputusan yang kita ambil sebagai seorang pendidik dan pemimpin pembelajaran berpengaruh pada bagaimana sebuah pembelajaran dilaksanakan. Sebagai contohnya adalah dalam penerapan pembelajaran berdiferensiasi. Pembelajaran bediferensiasi sendiri dapat diartikan sebagai serangkaian keputusan yang ‘masuk akal’ yang guru lakukan untuk memenuhi kebutuhan belajar murid. Dengan mengambil keputusan yang ‘masuk akal’ dalam pembelajaran, maka pengajaran yang kita lakukan dapat memerdekakan murid, membahagiakan, dan mendorong mereka untuk berkembang sesuai dengan kodratnya.

Bagaimana seorang pemimpin pembelajaran dalam mengambil keputusan dapat mempengaruhi kehidupan atau masa depan murid-muridnya?

Dengan menggunakan pemikiran yang komprehensif, seorang pemimpin pembelajaran dapat mempertimbangkan efek jangka pendek lawan jangka panjang dari keputusan yang akan diambil. Dengan demikian, keputusan yang diambil dapat mempengaruhi kehidupan atau masa depan murid-muridnya di masa yang akan datang.

Selain itu, metakognisi murid juga akan melihat bagaimana dan dasar nilai apa yang digunakan guru dalam menentukan keputusan. Dengan demikian, ada semacam transfer nilai yang akan dicontoh oleh murid dari pengambilan keputusan itu. Yang, mungkin saja dapat mempengaruhi bagaimana pola pikir, keyakinan, serta nilai-nilai (identitas bawah sadar) murid di masa yang akan datang. Ini kembali lagi pada salah satu Pratap Triloka, ing ngarsa sung tuladha.

Apakah kesimpulan akhir yang dapat Anda tarik dari pembelajaran modul materi ini dan keterkaitannya dengan modul-modul sebelumnya?

Kesimpulan yang dapat saya ambil adalah, dalam pengambilan keputusan, seorang pemimpin pembelajaran hendaknya menggunakan sistem kerja lambat otak luhur manusia. Menggunakan pemikiran yang jernih dan komprehensif dapat meminimalisasi adanya gesekan yang membuat pihak yang terlibat merasa kurang nyaman. Kemudian, bagaimana seorang pendidik mengambil keputusan kaitannya dengan keberpihakannya pada murid, secara tidak sadar akan menjadi ‘transfer nilai kebajikan’ yang mungkin dapat mempengaruhi pola pikir, keyakinan dan nilai-nilai yang tertanam pada diri murid. Sehingga mereka dapat tumbuh dan berkembang, menyongsong masa depan dengan selamat dan bahagia.



Selasa, 05 April 2022

KONEKSI ANTAR MATERI MODUL 2.3

Nia Martiana, S.Pd

SMP Negeri 8 Satap Tempunak

CGP Angkatan 4 Kab. Sintang 

COACHING DAN FILOSOFI KHD

Semboyan Pendidikan Indonesia ‘Tut Wuri Handayani’ diambil dari tiga filosofi pendidikan yang dikemukakan oleh Ki Hadjar Dewantara. Tut Wuri (mengikuti, mendampingi) mempunyai makna mengikuti/mendampingi perkembangan murid dengan penuh (holistik) berdasarkan cinta kasih tanpa pamrih, tanpa keinginan menguasai dan memaksa. Handayani (mempengaruhi) mempunyai makna merangsang, memupuk, membimbing dan memberi teladan agar murid mengembangkan pribadinya melalui disiplin pribadi. Sistem Among (Tut Wuri Handayani) menjadi salah satu kekuatan dalam pendekatan pendampingan (coaching) bagi guru.

Menilik kembali filosofi Ki Hajar Dewantara tentang peran utama guru (Pamong/Pedagog), maka memahami pendekatan Coaching menjadi selaras dengan Sistem Among sebagai salah satu pendekatan yang memiliki kekuatan untuk menuntun kekuatan kodrat anak (murid).

Pendampingan yang dihayati dan dimaknai secara utuh oleh seorang guru, sejatinya menciptakan ARTI (Apresiasi-Rencana-Tulus-Inkuiri).

 

COACHING SEBAGAI PERAN GURU PENGGERAK

Pada modul 1.2 telah disampaikan tentang beberapa peran guru penggerak, yaitu:

1.       Sebagai pemimpin pembelajaran

2.       Menggerakkan komunitas praktisi

3.       Mendorong kolaborasi antar guru

4.       Menjadi coach bagi guru lain

5.       Mewujudkan kepemimpinan murid.

Untuk dapat memerankan diri sebagai guru penggerak, keterampilan melakukan coaching adalah salah satu modal utamanya. Untuk dapat menggerakkan komunitas praktisi, mendorong kolaborasi antar guru, dan memerankan diri sebagai coach bagi guru lain, guru penggerak memerlukan keterampilan berkomunikasi yang memberdayakan, yang merupakan salah satu aspek dalam coaching. Dalam hal ini, konteksnya adalah coaching terhadap rekan sejawat.

Sebagai pemimpin pembelajaran dan mewujudkan kepemimpinan murid, keterampilan melakukan coaching juga diperlukan. Dengan melakukan coaching, guru dapat menggali potensi yang dimiliki oleh murid, untuk dapat menemukan solusi atas permasalahannya, baik itu permasalahan dalam pembelajaran maupun masalah sehari-hari yang murid hadapi. Dengan demikian, guru dapat mendorong murid untuk menjadi pribadi yang mandiri dan bertanggungjawab, paling tidak untuk dapat menjadi pemimpin yang baik bagi dirinya sendiri.

COACHING DALAM PEMBELAJARAN BERDIFERENSIASI

Untuk dapat memenuhi kebutuhan belajar murid, guru perlu melakukan pembelajaran berdiferensiasi. Dalam praktiknya, pemebelajaran berdiferensiasi muncul terkait adanya keragaman kebutuhan belajar peserta didik. Untuk dapat mengetahui apa saja keragaman-keragaman tersebut, maka guru perlu melakukan pemetaan paling tidak, pada:

1.       Kesiapan belajar

2.       Minat

3.       Profil belajar

4.       Hambatan belajar

Dari pemetaan tersebut maka akan diperoleh data, mana saja murid yang memerlukan intervensi lebih lanjut, untuk dapat memaksimalkan potensinya dalam belajar, dan sebisa mungkin meminimalisasi hambatan belajarnya. Salah satu bentuk intervensi yang dapat diberikan adalah dengan menyusun pembelajaran berdiferensiasi. Apakah cukup sampai disitu? Saya kira sayang sekali apabila data pemetaan ini hanya berhenti sampai disini saja.

Hasil pemetaan juga dapat dijadikan panduan bagi guru untuk mencari dan menggali lebih terhadap apa yang dialami oleh murid. Selanjutnya, melakukan coaching dapat menjadi pendekatan yang lebih personal yang dapat membantu murid untuk menggali potensinya, serta menggali solusi atas permasalahannya dalam pembelajaran. Maka coaching dan penyelenggaraan pembelajaran berdiferensiasi akan sejalan.

COACHING DAN PEMBELAJARAN SOSIAL EMOSIONAL

Lalu, bagaimana koneksi antara coaching dengan pembelajaran sosial emosional?

Pembelajaran sosial dan emosional bertujuan untuk 1) memberikan pemahaman, penghayatan dan kemampuan untuk mengelola emosi 2)menetapkan dan mencapai tujuan positif 3)merasakan dan menunjukkan empati kepada orang lain 4)membangun dan mempertahankan hubungan yang positif serta 5)membuat keputusan yang bertanggung jawab.

Dilihat dari tujuan pembelajaran sosial emosional, maka dapat kita lihat bahwa peran guru sebagai pamong (coach) diperlukan untuk dapat mencapai tujuan PSE tersebut. Coaching dapat menjadi salah satu bentuk penguatan dan pengembangan keterampilan sosial emosional murid, dengan membimbing mereka untuk lebih melihat kedalam diri mereka, berrefleksi, untuk dapat membuat keputusan yang bertanggungjawab atas diri mereka.

Selain itu, dalam pembelajaran sosial emosional, guru dapat meminta murid untuk mengidentifikasi emosi yang mereka rasakan sebelum kegiatan belajar. Coaching dapat menjadi salah satu tindak lanjut dari temuan identifikasi emosi negatif yang dirasakan murid. Dengan demikian maka coaching dapat melengkapi keberpihakan terhadap murid, selain dengan melakukan pembelajaran berdiferensiasi dan pendidikan sosial emosional.

          PRAKTIK COACHING DI SMP NEGERI 8 SATAP TEMPUNAK 

Sebagai guru di SMP Negeri 8 Satap Tempunak, saya merasa keterampilan coaching sangat bermanfaat bagi saya, utamanya dalam memberikan pelayanan pendidikan yang berpihak kepada murid, serta dalam mendorong terbentuknya komunitas praktisi di sekolah. Sejauh ini praktik coaching telah saya lakukan untuk membantu murid menggali potensi dirinya untuk mendapatkan solusi atas permasalahan yang dihadapinya. Selain itu, saya merasa coaching efektif untuk membentuk kedekatan, kepercayaan, serta komunikasi yang baik antara guru dan murid. Semoga kedepannya coaching dapat menjadi budaya positif sekolah, untuk terciptanya pelayanan pendidikan yang berpihak kepada murid. 


Referensi:
Disarikan dari:
1.       Modul 1.1 Pendidikan Guru Penggerak Angkatan 4
2.       Modul 1.2 Pendidikan Guru Penggerak Angkatan 4
3.       Modul 2.1 Pendidikan Guru Penggerak Angkatan 4
4.       Modul 2.2 Pendidikan Guru Penggerak Angkatan 4
5.       Modul 2.3 Pendidikan Guru Penggerak Angkatan 4

Makan Enak

 

Setelah entah berapa purnama berlalu, Alhamdulillah mendapati lagi pengalaman makan sambil menangis. Ini terasa romantis, meskipun makan sendiri, hanya dengan nasi dan telur goreng. Sebuah momen langka, yang sayang untuk dilewatkan.

Sudah 10 hari lamanya merasakan tak enak makan berkat invasi keluarga Salmonella. Kukira keadaan membaik karena kaplet Lumbricus yang katanya manjur. Bisa jadi, makhluk penyubur tanah yang menggelikan itu memberikan khasiat dan manfaat. Ah, padahal kalau melihat bentuk nyatanya rasanya tak menambah nafsu makan. Begitu hebatnya yang mengijinkan makhluk itu berperan, membuatku merasa sudah saatnya kembali menikmati momen makan.

Apakah itu hanya sugesti?

Lalu Siapa yang membuatku bisa merasakan nikmatnya momen makan ini? Apakah ini terasa nikmat karena aku mampu beli beras, telur, garam dan minyak goreng yang sedang langka dan mahal itu? Ah, nyatanya beras yang kumakan adalah buah perhatian kawanku yang habis panen padi kampung. Telur kuperoleh karena kebaikan hati muridku yang mau meluangkan waktu untuk sejenak ke warung. Lalu minyak yang kugunakan adalah cemceman untuk simpan kemiri, kubeli saat keberadaannya belum sulit dicari.

Berarti bukan karena aku mampu beli.

Lalu mengapa aku menangis?

Karena Dia yang berbaik hati, mengizinkan, dan memberi kemampuan. Seandainya aku dikatakan mampu bukan berarti karena aku mampu, atau hanya sekedar mau. Seandainya aku kuat nyatanya aku sempat kalah bertanding dengan Salmonella.

Aku menangis karena begitu nikmatnya makananku. Meskipun sedang tidak bersama mereka yang membuat momen romantis dikatakan ‘romantis’. Tapi ini romantis.

Lalu mengapa aku begitu lugu mengatakan ini adalah momen langka?

Padahal nikmat yang Dia berikan jauh dari kata jarang, tak seperti minyak goreng yang entah sekarang belinya dimana.


Catatan sebelum Ramadhan 1443