Jumat, 08 Maret 2013

Tapi, Apakah Sesuatu yang Mati Tidak Punya Hati?



Pelajaran Bahasa Indonesia hendak dimulai, seperti biasanya, aku mememinta dua orang murid untuk mengambil buku teks di perpustakaan. Mereka celingukan, tidak ada yang bergegas ambil langkah. Ketika aku tanya mengapa, salah satu dari mereka menjawab, “Kami tidak diijinkan meminjam buku di perpustakaan lagi Bu.”
            “Mengapa?”, tanyaku meminta penjelasan.
            “Bapak petugas perpus tidak ijin kami pinjam buku, perkara ada anak yang mencoret-coret dan menulis namanya di buku-buku itu Bu...”. Aku hanya tersenyum.
Kelas hening sejenak. Semua anak tertunduk. Hawa-hawa kemarahan sepertinya telah mereka rasakan keluar dariku. Namun tentu saja, aku hanya tersenyum.
            “Ada yang mau mengaku siapa yang melakukannya?” Semua hanya terdiam.  “Okay, sekarang Ibu tanya, pernah tidak kalian mencoret-coret buku teks pelajaran itu, jawab saja, kita coba sama-sama untuk jujur?”, tanyaku dengan ramah dan senyum.
            “Iya Bu, pernah....”, anak-anak menjawab dengan serempak dan kompak.
            “Berarti semua dari kalian pernah melakukannya?”, tanyaku meminta penegasan.
            “Benar Bu, kita pernah melakukannya....”, semua anak dengan cerianya riuh menjawab.
            “Kalau begitu, kalian BANGGA?”. Tiba-tiba kelas yang riuh menjadi sepi seperti di kuburan.
            “Saya tegaskan lagi, apa menurut kalian, tindakan menuliskan nama di buku itu merupakan tindakan yang membanggakan? Apakah menurut kalian, perbuatan seperti itu akan membuat nama kalian terkenal dan dikenang?” Mereka masih diam.
            “Tidak Bu....”, jawab Oris lirih.
            “Itu buku bukan milik kalian sendiri, kalian hanya meminjam. Barang pinjaman itu harus dirawat dengan baik. Karena, tidak hanya kalian yang menggunakannya. Teman-teman lain, adik-adik kelas kalian nanti juga akan menggunakannya. Coba kalian renungkan, kira-kira tindakan kalian itu benar tidak?” Anak-anak tidak ada yang berani menatap mataku. Semuanya tertunduk.
            Terusterang, aku marah. Aku, memang bukan seseorang yang punya hobi membaca, tapi aku suka membaca. Aku memang jarang membeli buku, tetapi aku suka meminjam buku, entah di perpustakaan, di rental ataupun teman-teman. Dan, sebagai seorang peminjam, aku selalu berusaha bertanggungjawab pada buku yang aku pinjam. Perbuatan melipat, mencorat-coret, atau memperlakukan buku dengan buruk merupakan suatu kejahatan, pikirku. Itu merupakan sebuah penyiksaan terhadap buku. Buku memang benda mati, tapi apakah sesuatu yang mati tidak punya hati? Buku pasti akan sedih ketika diperlakukan dengan buruk. Sama seperti diri kita yang sedih ketika disakiti.  
            “Anak-anak, jika kalian memang ingin nama kalian dikenang dan tercetak pada sebuah buku, bukan begitu caranya. Bukan dengan mencorat-coret buku dengan menuliskan nama kalian. Suatu saat, kalian harus menulis sesuatu. Menorehkan nama kalian dari hasil kerja kalian. Nama yang tidak dapat dihapus. Nama yang akan dikenang”.
            Dalam hati sebenarnya aku miris. Miris bukan karena mereka. Miris dan malu pada diriku sendiri. Aku bisa menasehati mereka seperti itu tapi aku sendiri belum tentu bisa melaksanakannya. Belum ada namaku yang terukir tegas pada sebuah buku, ataupun lembaran cetak lainnya, kecuali, tentu saja skripsiku yang kutulis sebagai tiketku untuk bisa jadi sarjana. Ah, betapa berbicara itu mudah, namun sulit juga untuk melaksanakannya.
            “Okay, kalau begitu, hari ini kita belajar tidak dengan buku paket. Namun bukan berarti kalian selamanya tidak akan belajar dengan buku. Kalian harus berusaha bagaimana caranya agar petugas perpus mengijinkan kalian untuk meminjam buku lagi. Saya beri kalian waktu lima menit untuk berpikir.” Perintahku pada anak-anak.
            Selama lima menit itu aku pun juga berpikir. Memikirkan bagaimana cara agar aku bisa melaksanakan apa yang aku nasihatkan, dan memberikan usaha nyata agar murid-muridku pun bisa melaksanakan apa yang ku nasehatkan itu. Entah ada angin dari mana, tiba-tiba sebuah ide merasuk ke pikiranku, menulis buku untuk dan bersama anak-anak. Tidak masalah apakah nantinya akan diterbitkan atau tidak, yang penting adalah usahanya.
<3<3<3
“Okay, hari ini kita sudah belajar tentang apa saja?” Tanyaku pada murid-muridku.
“Tentang dongeng...” jawab mereka dengan penuh semangat.
“Ada berapa jenis dongeng?”
“Ada empat....”
“Ada yang bisa menyebutkan apa saja?”. Mendengarku bertanya begitu anak-anak langsung sigap membuka kembali catatan mereka.
“Ada fabel, mite, legenda”
“Dan sage”.
“Nah, kalau cerita Ine Pare termasuk jenis yang mana?”
“Legenda”, jawab Hendro, anak yang performanya cenderung meningkat semenjak kena gigitan anjing terduga rabies.
“Nah, sekarang, kita akan mengadakan sayembara menulis cerita rakyat dari daerah Ende. PR kalian untuk minggu depan adalah, menulis dongeng karya kalian sendiri. Dongengnya yang berasal dari Ende. Misalnya, cerita tentang Ine Pare, Lepembusu, dan lain sebagainya. Dua orang yang menulis dengan baik akan saya beri hadiah, kemudian akan saya ketik untuk kenang-kenangan. Kira-kira, kalian bisa tidak....”
“Bisa Bu...”
“Ingat, saya tetap akan tahu kalau ada satu dari kalian yang mencontek dari buku. Jadi, tulislah dongeng kalian sendiri. Bisa dimengerti?”
“Baik Bu....”
“Saya kira cukup sekian untuk hari ini, Selamat siang....”.
Ruang kelas masih saja riuh setelah aku tinggalkan. Mereka sepertinya bersemangat.
<3<3<3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar