Selasa, 12 Maret 2013

Dalam Kuasa Rindu



Lamunanku membisu
Bias bekas rona merajuk
Sesak rasanya

Ini adalah kesempatan untuk beranjak
Menjadi bijak bukan perkara mudah
Cinta, bukan tentang tinggi rendahnya langkah
Namun sedalam apa benam rasa

Aku dan permainan pikiran
Jauh sekali
Harap grafitasi Tuhan menjatuhkan aku lagi
Sesak rasanya begini

Tuhan, semoga rasa ini karena-Mu

Senin, 11 Maret 2013

Lisa dan Kembang Api Simpang Lima


Gadis-gadis kecil itu berlari menuju lift, mendorong kursi roda seorang anak laki-laki berbau satai dengan untaian kalung plastic di pergelangan tangannya.
Akhir tahun ini terasa sepi, 2007. Tahun penuh kehilangan yang dalam.
Aku berada diantara keceriaan mereka sepanjang pekan ini. Anak-anak kecil berlari, saling mempercandai, menghibur, dan menangis. Dan kini aku bingung, darimana baiknya aku bercerita.
Dia bernama Lisa, gadis kecil seusia anak kelas 2 SD yang mengidap kelainan jantung aneh. Aku tidak tahu pastinya apa, sepertinya sangat rumit untuk dijelaskan. Setidaknya itulah yang aku tangkap dari analisis dokter yang menanganinya. Dokter  tidak kunjung melakukan tindakan apa-apa bahkan setelah hampir tiga pekan Lisa berada di Bangsal A2 ini.
                Adikku mengungsi ke bangsal itu setelah aku mengantri kamar dari akhir bulan November, dengan hanya berbekal surat pengantar, SKTM dan kartu rawat jalannya.  Akhirnya, saat itu datang juga. Sebuah tempat tidur pojok bangsal A2 resmi menjadi “hotel” ku dan ibuku.
Atmosfir bangsal A2 bukanlah hal baru bagi adikku, maupun keluargaku. Hari-hari terakhirku merasakan kebersaman bersama Bapak, Superheroku, ya disini ini. Di ruang berisikan tangisan anak-anak dan rengekan manja para wanita pengidap kanker payudara. Bau nanah bercampur betadin berasa bau satai gosong menjadi aroma terapi penghias hidung kami di ruang ini.
Kali ini adikku mendapatkan jatah tempat tidur dipojok sebelah dinding ruangan, tidak seperti 5 bulan lalu ketika Bapak masih ada di tengah-tengah keceriaan keluarga kami, adik mendapat jatah di dekat pintu masuk ruangan. Ranjang itu masih bertuliskan, VA, 10 th, Postcolostomy, III, sama seperti dulu hanya saja, kali ini tidak ada sosok laki-laki yang menemani kami, yang namanya tertera di papan putih itu.
Lisa, yang tadi aku ceritakan, menempati ranjang depan adikku persis, diantara dua anak laki-laki pengidap Hypospadia, Bimo dan anak si juragan bakso, Awang. Lisa berasal dari satu Kabupaten yang kala itu dilanda bencana banjir besar. Rumahnya tengggelam setinggi atap sehingga dia tidak bisa kembali pulang walaupun dokter telah menyuruhnya untuk sementara rehat dirumah, sambil menunggu analisis tindakan yang akan dilakukan pada jantung anak malang ini.
Sepekan disana Lisa, Bimo, Awang, Saferi dan adikku menjalin persahabat yang saling mendukung. Lisa, Awang dan Adikku mendorong kursi roda Bimo menembus kerumunan menuju lift untuk hanya sekedar merasakan sensasi pusing setengah asyik naik turun ruangan tanpa meniti tangga. Ini semua agar Bimo tetap ceria dengan penis kecilnya yang gosong. Awang akan segera merasakannya. Lisa akan mengantarkan adikku yang selalu menangis ketika menuju ruang businasi dan washout. Dan adikku akan membagikan makanannya pada Lisa bahkan sebelum  ia datang untuk meminta.
Setiap hari sepulang kuliah, aku menghabiskan waktuku bercengkerama dengan mereka. Menceritakan tentang hujan, boneka Barbie, kembang api, dan simpang lima. Malam itu adalah malam pergantian tahun. Aku ceritakan pada anak-anak kecil itu tentang kembang api simpang lima yang akan melempem kena hujan. Suaranya hanya akan terdengar meletup-letup seperti suara angin adikku yang menggelembungkan plastik di perutnya.  Aku janjikan mereka untuk dapat jalan-jalan ke simpang lima, menyaksikan kejadian ajaib yang hanya terjadi satu tahun sekali. Namun kali ini aku hanya bergurau. Simpang lima yang aku janjikan  bukanlah sebuah pusat keramaian kota ini, melainkan sebuah persimpangan jalan no.5 yang menghubungkan koridor satu dengan yang lain. Maksudku, aku akan membawa mereka kesana, dan kemudian menyalakan kembang api (walau sepertinya, tidak mungkin dan itu tidak pernah terjadi)
Lisa menangis sejadi-jadinya. Dia ingin ke simpang lima, ingin melihat kembang api besar-besar membumbung dilangit. Dia meninju-ninju ibunya. Orang-orang satu bangsal bak keheranan. Tak pernah mereka melihat gadis setegar dan seceria Lisa menangis begitu hebatnya. Bahkan jarum suntik dan meja operasi saja tidak bisa membuatnya sebegitu sedu-sedan. Dan kali ini, karena bualanku, anak malang ini seperti mengamuk dan merasa tertipu. Dalam hati aku menyesal.
Tepat jam 00 suara kembang api meledak-ledak memekikkan telinga. Anak-anak terbangun. Bapak-bapak mereka keluar menuju teras bangsal menyaksikan kembang api simpang lima dari ketinggian balkon. Ibu-ibu meyakinkan anaknya bahwa tidak terjadi apa-apa. Hanya Lisa yang masih saja tertidur, capek menangis karena ulahku. Adikku sendiri terjaga dari tidurnya.
Dalam lirih ia berbisik ”Mbak, iki wes 1 Januari yo. Brati nyong ngesok mulai poso yo…..”
Aku hanya bisa terdiam. Aku genggam erat jemari adikku untuk menunjukkan bahwa semua akan baik-baik saja. Ada ibu dan Mbak. Ada Bapak yang selalu berdoa karena beliau kini lebih dekat dengan Tuhan.
Tahun itu, aku mulai dengan harapan dan keajaiban…..
Kadang aku ingin tahu, bagaimana kabar gadis kecil itu, apakah dia sudah sembuh dari sakitnya, apakah dia masih saja cerewet. Terakhir aku tahu kabar Lisa, dokter masih belum tahu bagaimana tindak lanjut pengobatannya. Semoga sekarang dia baik-baik saja, dan suatu saat dapat menyaksikan kembang api Simpang Lima…… 



 NB: Tulisan ini sudah pernah dipostingkan sebelumnya di blog www.,coconuttrees.blogspot.com 

Jumat, 08 Maret 2013

Bita Bita Leka Nia


Soulers......
Sekedar info, ini bukan karena yang punya blog namanya Nia terus posting lagu yang judulnya nia-nia gitu.... hehehe
Bita-bita leka Nia artinya Lumpur-lumpur di Wajah. Lagu ini berbahasa Lio Ende. 
lagu ini menceritakan tentang gadis  kecil (weta lo'o) yang gak bisa diem (mera setu talo artinya gak bisa duduk diam). Nah, berhubung nih, Ja’o (aku dalam bahasa Ende) masih belajar-belajar gitar, so, Ja’o kasih bonus nih sekalian sama chord gitarnya, hehehe.... Enjoy it then :))))))))))))))

Setu Talo                                           

G                          D                     G
Setu Talo be weta lo’o mera setu talo
C                      D                    G
Ate haro dau duga no’o nara manggo
C            G                  D            G
Ine no’o baba ke fonga longgo mbana
D             C          G
Tau nara ola kala nggasa

G
Bita-bita bita leka nia
C
Nebo-nebo nebo leka tebo
D
Ghoe ghabi do nggere nana ghari
C             D                 G
Ta ki tora ngere nana koja




Tapi, Apakah Sesuatu yang Mati Tidak Punya Hati?



Pelajaran Bahasa Indonesia hendak dimulai, seperti biasanya, aku mememinta dua orang murid untuk mengambil buku teks di perpustakaan. Mereka celingukan, tidak ada yang bergegas ambil langkah. Ketika aku tanya mengapa, salah satu dari mereka menjawab, “Kami tidak diijinkan meminjam buku di perpustakaan lagi Bu.”
            “Mengapa?”, tanyaku meminta penjelasan.
            “Bapak petugas perpus tidak ijin kami pinjam buku, perkara ada anak yang mencoret-coret dan menulis namanya di buku-buku itu Bu...”. Aku hanya tersenyum.
Kelas hening sejenak. Semua anak tertunduk. Hawa-hawa kemarahan sepertinya telah mereka rasakan keluar dariku. Namun tentu saja, aku hanya tersenyum.
            “Ada yang mau mengaku siapa yang melakukannya?” Semua hanya terdiam.  “Okay, sekarang Ibu tanya, pernah tidak kalian mencoret-coret buku teks pelajaran itu, jawab saja, kita coba sama-sama untuk jujur?”, tanyaku dengan ramah dan senyum.
            “Iya Bu, pernah....”, anak-anak menjawab dengan serempak dan kompak.
            “Berarti semua dari kalian pernah melakukannya?”, tanyaku meminta penegasan.
            “Benar Bu, kita pernah melakukannya....”, semua anak dengan cerianya riuh menjawab.
            “Kalau begitu, kalian BANGGA?”. Tiba-tiba kelas yang riuh menjadi sepi seperti di kuburan.
            “Saya tegaskan lagi, apa menurut kalian, tindakan menuliskan nama di buku itu merupakan tindakan yang membanggakan? Apakah menurut kalian, perbuatan seperti itu akan membuat nama kalian terkenal dan dikenang?” Mereka masih diam.
            “Tidak Bu....”, jawab Oris lirih.
            “Itu buku bukan milik kalian sendiri, kalian hanya meminjam. Barang pinjaman itu harus dirawat dengan baik. Karena, tidak hanya kalian yang menggunakannya. Teman-teman lain, adik-adik kelas kalian nanti juga akan menggunakannya. Coba kalian renungkan, kira-kira tindakan kalian itu benar tidak?” Anak-anak tidak ada yang berani menatap mataku. Semuanya tertunduk.
            Terusterang, aku marah. Aku, memang bukan seseorang yang punya hobi membaca, tapi aku suka membaca. Aku memang jarang membeli buku, tetapi aku suka meminjam buku, entah di perpustakaan, di rental ataupun teman-teman. Dan, sebagai seorang peminjam, aku selalu berusaha bertanggungjawab pada buku yang aku pinjam. Perbuatan melipat, mencorat-coret, atau memperlakukan buku dengan buruk merupakan suatu kejahatan, pikirku. Itu merupakan sebuah penyiksaan terhadap buku. Buku memang benda mati, tapi apakah sesuatu yang mati tidak punya hati? Buku pasti akan sedih ketika diperlakukan dengan buruk. Sama seperti diri kita yang sedih ketika disakiti.  
            “Anak-anak, jika kalian memang ingin nama kalian dikenang dan tercetak pada sebuah buku, bukan begitu caranya. Bukan dengan mencorat-coret buku dengan menuliskan nama kalian. Suatu saat, kalian harus menulis sesuatu. Menorehkan nama kalian dari hasil kerja kalian. Nama yang tidak dapat dihapus. Nama yang akan dikenang”.
            Dalam hati sebenarnya aku miris. Miris bukan karena mereka. Miris dan malu pada diriku sendiri. Aku bisa menasehati mereka seperti itu tapi aku sendiri belum tentu bisa melaksanakannya. Belum ada namaku yang terukir tegas pada sebuah buku, ataupun lembaran cetak lainnya, kecuali, tentu saja skripsiku yang kutulis sebagai tiketku untuk bisa jadi sarjana. Ah, betapa berbicara itu mudah, namun sulit juga untuk melaksanakannya.
            “Okay, kalau begitu, hari ini kita belajar tidak dengan buku paket. Namun bukan berarti kalian selamanya tidak akan belajar dengan buku. Kalian harus berusaha bagaimana caranya agar petugas perpus mengijinkan kalian untuk meminjam buku lagi. Saya beri kalian waktu lima menit untuk berpikir.” Perintahku pada anak-anak.
            Selama lima menit itu aku pun juga berpikir. Memikirkan bagaimana cara agar aku bisa melaksanakan apa yang aku nasihatkan, dan memberikan usaha nyata agar murid-muridku pun bisa melaksanakan apa yang ku nasehatkan itu. Entah ada angin dari mana, tiba-tiba sebuah ide merasuk ke pikiranku, menulis buku untuk dan bersama anak-anak. Tidak masalah apakah nantinya akan diterbitkan atau tidak, yang penting adalah usahanya.
<3<3<3
“Okay, hari ini kita sudah belajar tentang apa saja?” Tanyaku pada murid-muridku.
“Tentang dongeng...” jawab mereka dengan penuh semangat.
“Ada berapa jenis dongeng?”
“Ada empat....”
“Ada yang bisa menyebutkan apa saja?”. Mendengarku bertanya begitu anak-anak langsung sigap membuka kembali catatan mereka.
“Ada fabel, mite, legenda”
“Dan sage”.
“Nah, kalau cerita Ine Pare termasuk jenis yang mana?”
“Legenda”, jawab Hendro, anak yang performanya cenderung meningkat semenjak kena gigitan anjing terduga rabies.
“Nah, sekarang, kita akan mengadakan sayembara menulis cerita rakyat dari daerah Ende. PR kalian untuk minggu depan adalah, menulis dongeng karya kalian sendiri. Dongengnya yang berasal dari Ende. Misalnya, cerita tentang Ine Pare, Lepembusu, dan lain sebagainya. Dua orang yang menulis dengan baik akan saya beri hadiah, kemudian akan saya ketik untuk kenang-kenangan. Kira-kira, kalian bisa tidak....”
“Bisa Bu...”
“Ingat, saya tetap akan tahu kalau ada satu dari kalian yang mencontek dari buku. Jadi, tulislah dongeng kalian sendiri. Bisa dimengerti?”
“Baik Bu....”
“Saya kira cukup sekian untuk hari ini, Selamat siang....”.
Ruang kelas masih saja riuh setelah aku tinggalkan. Mereka sepertinya bersemangat.
<3<3<3